
Asal Mula Nama dan Puisi-Puisi Lainnya
30 November 2019
Edit
Kaki
Nenekku
Kaki nenekku mencatat perjalanan yang
memakan waktu
Terkadang retak seperti tanah di musim
kemarau
Terkadang empuk seperti roti terendam
air hujan.
Tanah yang terbawa di antara retakan
kaki
Mengingatkannya untuk terus kembali
Aroma tanah menjadi arah
Perjalanan pulang menuju rumah.
Cucu-cucu mereka yang ingin pergi,
dulu begitu mudah meninggalkan kota ini,
tapi sekarang begitu sulit untuk
kembali.
Barangkali, tak ada lagi tanah yang
terbawa
di antara kaki-kaki bersepatu
dan jalanan yang kehilangan debu.
Yogyakarta, 2019
Kota
yang Minta Dilupakan
Mbok
yo lali!
Mbok
yo lali!
Suara itu terus ada di kepala
Setiap kaki berjalan pulang ke kota.
Aku rasa, kota ini gampang berubah
dan semakin bising
Membuatku terus-menerus pangling
dan merasa asing.
Seolah aku sudah meninggalkannya begitu
lama
Padahal hanya semalam atau satu kali
pejam mata.
Mbok
yo lali!
Mbok
yo lali!
Barangkali kota ini memang untuk
dilupakan
Sebagaimana asal mula namanya.
Tapi sungguh, tak bisa kulupakan
Sebab tak ada ingatan
yang benar-benar kukenal dan kukenang.
Boyolali, 2019
Takdir
bagi Anak-Anak Kami
Anak laki-laki dilahirkan sebagai
penempa
dan pengukir tembaga
Anak perempuan diajari menjahit dan
menghitung
untuk menjadi buruh pabrik atau penjaga
toko.
Cita-cita hanya seperti lempengan
tembaga
yang ditempa dan diukir untuk menghias
tempat lain
Atau seperti lembaran kain yang dijahit
dengan mesin,
tapi tak pernah dipakai sendiri
Juga seperti dagangan di toko yang
dijajakan,
bukan dinikmati sendiri.
Sebab bagi kami
Inilah takdir yang mesti dijalani,
Orangtua bekerja untuk mencarikan biaya
Belajar anak-anaknya.
Anak-anak belajar untuk mengerti cara
bekerja
dan berbakti kepada orangtuanya.
Boyolali, 2019
Perihal Hujan
Masa lalu berjatuhan di halaman
Engkau menampungnya dengan ember di
tritisan
untuk mengisi ulang bejana ingatan.
Anak-anakmu memetik daun, menjadikannya
perahu harapan
Lalu menghayutkannya di alir selokan.
Penuh tawa, anak-anakmu menyoraki
harapan-harapannya
Orang bilang, tuhan maha mendengar
tapi anak-anakmu tetap setia
Teriak begitu rupa.
Biasanya, hujan begini tuhan menjatuhkan
namamu
Tepat di atas kepala dan dentingnya
menggema
di ruang tunggu dalam dada.
Tapi tidak untuk hari ini
Hujan terasa begitu sunyi
Barangkali tuhan sudah lupa namamu
Atau tuhan tahu, diam-diam aku
melupakanmu.
Boyolali, 2019
Asal
Mula Nama
Kelak, setiap orang akan bertanya
perihal nama-nama
yang disematkan pada setiap benda.
Sebab setiap kali menciptakan,
orang-orang merasa bosan.
Setiap kali meninggalkan,
orang-orang merasa perlu mengenang.
Kelak, ketika anak-anak bertanya perihal
desa ini
Setiap orangtua akan bercerita perihal
hantu dan api.
“Dulu tempat ini hanyalah belantara,
Tempat mayat dibakar dan moksa.
Api pembakarannya menyala-nyala
Menjadi hantu yang tinggal di kepala.
“Lalu kami menyebutnya Tumang,
Hantu Kemamang.”
Tapi hari ini anak-anak seolah lupa cara
bertanya
Seolah lupa cara membaca
Sebab baginya, apalah arti sebuah nama.
Boyolali, 2019
Permohonan
Jalanan yang merindukan kaki,
Akhirnya kita setapaki lagi.
Bagaimana pun, semuanya sudah berbeda
Usiamu merimbun, sedang nasibmu gugur
diterpa angin
Berserakan di batu yang dingin.
Aku di belakangmu
Mencoba memungutnya satu persatu
Memanggulnya di punggung waktu
Membawanya pulang dan mengubahnya
menjadi batu
yang kutata menjadi rumah di hari tuamu.
Ibu, anak yang pernah kauizinkan
Berjalan di telapak tanganmu
Izinkanlah menjadi jalan
yang kausetapaki di hari tuamu.
Boyolali, 2019
Kunjungan
: Rahmawati Addas
Di Prambanan, akulah batu-batu yang
menyambutmu
dengan segenap masa lalu
Tubuhku terbuka begitu saja, sedia untuk
kaubaca.
Dalam tubuh batuku, mungkin kautemui
retakan-retakan
Atau celah-celah kecil dari susunan
berantakan
Itulah nasib yang sedang kuupayakan.
Dalam tubuh batuku, terpahat
cerita-cerita
yang tak akan selesai kaubaca
sekali kunjungan saja.
Maka datanglah pada musim hujan
berikutnya
Bawalah kemaraumu yang panjang selepas
perpisahan
dan pertemuan kita, tubuh-tubuh basah
oleh ingatan.
Barangkali, kaulah Rara Jonggrang itu
yang kemudian menjadi batu
Menggenapi keganjilan tubuhku.
Yogyakarta, 2018
Cerita
Ibu
Masih kuingat ceritamu, tentang pohon
dan ranting-ranting
bercabang dan patah pada saatnya
sebab usia atau angin atau lain
yang dianggap bencana
"Perjalanan kita akan berliku,
mungkin buntu, dan berakhir kaku.
Masihkah kau mau menemaniku,
menemui akhir yang jelas tentu?"
Kita masih bersama
meski jauh dan tapakmu entah sampai mana
selalu kurasai, adamu dalam diri
dalam hati.
Boyolali, 2015