
Di Rumah Perawan Terdengar Sinisme Akan Hidup
11 Desember 2019
Edit
Saat
menonton film The Old Man and The Gun, kau akan semringah, senyum-senyum
sendiri. Ada seorang tua, melaju dengan sedan tua menemukan cinta di tepi
jalan. Merayu wanita dengan berlagak ala perampok dan mengatakan, “Sungguh
aku sangat suka padamu, nona, jadi mohon serahkan, saya sungguh tidak ingin nona
terluka, sungguh.” Seketika masa tua tidak meyeramkan seperti yang saya
bayangkan.
Angan-angan
seketika runtuh saat membaca Yasunari Kawabata dalam Rumah Perawan-nya,
bahwa menjadi tua juga menyeramkan, renta, kesepian, dan tentu pelir yang tidak
aktif lagi. Kemudian mempertimbangkan, saya tidak ingin terjerembab, tapi
kenyataan berkata lain. Saya membaca dengan sangat lambat Kawabata dan lambat
pula dalam memahami.
Kawabata
banyak membuat simbol tentang tubuh, ombak, maupun ruangan untuk berbicara
secara psikologis seperti halnya haiku. Penggunaan simbol-simbol ini bahkan bagi
Eka Kurniawan telah memberi “kesan yang paling kuat setiap membaca karya-karyanya
adalah keterpesonannya kepada benda-benda alamiah maupun ciptaan, dan membawa
benda-benda itu sebagai pesan bagi perasaan-perasaan yang tak terkatakan.”
Sebab
itu, simbol menjadi bagian nyentrik dari pendekatakan Kawabata, terutama ketelanjangan
tubuh. Terasa kesan estetik terletak di titik tersebut. Ada pula bagian karya
sastra Jepang jauh dari kritik akan kelas, ketimpangan, dan masalah urban lain
karena penyimbolan.
Namun
Rumah Perawan sebagai salah satu novel Kawabata lebih sekadar itu,
mencoba mendekati kritik melalui ketelanjangan sebagai pintu utama. Kisah ini
dilimpahkan pada tokoh Eguci tua yang ingin menikmati masa tua dalam kepuasan
jasmaniah. Menghabiskan malam-malamnya bersama para perempuan yang tidur
sembari menunggu ajal. Mati di pelukan wanita muda dan masih perawan adalah
kebahagian bagi lelaki seumuran Eguci tua. “Rasanya sudah lama sekali
berlalu semenjak aku kehilangan harapan pada setiap perempuan terakhir, ada
sebuah rumah di mana gadis-gadis ditidurkan dan mereka tidak bisa bangun,” ingat
Eguci saat Koga memberikan informasi tentang rumah perawan.
Perawan-perawan
itu ditidurkan dengan pil penidur, hingga ia menjadi pulas seolah buddha tidur.
Para perawan dalam keadaan telanjang dan Eguci hanya cukup berbaring di sampingnya
tanpa melakukan apapun. Bahkan ia tidak boleh memasukkan jarinya ke mulut
gadis yang tidur itu, atau mencoba melakukan apa saja yang serupa itu.
Pencarian
kebahagian berbalik, menjadi bagian menakutkan tentang kematian. Kawabata
berbicara tentang kematian terasa liris, dengan bercerita tentang para perawan
yang sedang tertidur bersama Eguci adalah petaka itu sendiri. Ingatan masa
tuanya melarikannya pada kenangan akan wanita manis, sendu, dan tegar yang
telah mengisi ranjang masa mudanya, melintas begitu saja, dan jiwa kebocahan
pada Eguci merengek, “buruk bukan karena perawakan perempuan-perempuan itu,
tapi tragedi mereka, tragedi mereka yang kusut.”
Lalu
berbekal itu, Kawabata berbicara nafsu jasmaniah dengan memukulnya dengan ironi
ajal di belakang. Barangkali dengan begitu terasa sinisme dari Kawabata tentang
hidup. Bahwa hidup manusia merupakan hutang dan harus terbayar lunas atau hidup
bagian dari rasa dosa yang dingin. Hal tersebut ditunjukkan dengan si tokoh Eguci
mengenang kembali beberapa wanita yang sempat mengisi hidupnya sebagai simbol
yang tepat. Ada rasa bersalah bahkan dosa tentang kenangan-kenangan Eguci,
hingga pada akhirnya berucap, “dalam umurnya sekarang, ia tidak ingin menambah
episode yang seperti itu lagi dalam hidupnya.”
Sebagai
contoh, hubungannya dengan seorang wanita yang bersuami menjadi salah satu
episode hidup Eguci yang harus terbayar. Wanita itu telah melakukan apapun
untuk Eguci, bahkan meninggalkan anak-anaknya pada seorang pengasuh hanya untuk
bercinta. Namun, setelah wanita itu jatuh cinta padanya, ia menolak melalui
pertimbangan: “sebagai ibu dari tiga anak, apa ia masih punya badan seperti
yang dimiliki perempuan yang tak punya anak sama sekali?”
Fragmen
dari episode hidup Eguci tua terus berganti sesuai dengan bergantinya para
perawan yang ia tiduri saban malam. Para perawan telah menunjukkan kisah
manis-pahit di waktu remaja, sekaligus menghadirkan kesepian akan masa tua yang
kian bulat.
Pada
puncaknya ketika salah satu perawan meninggal, ketika Eguci tidur dengannya.
Rasa sinisme juga tragis yang gelap terbayang dan menebal dalam hidup Eguci.
Sekarang ia berdiri sebagai seorang tua dengan ajal yang menakutkan, tak ada
lagi kematian yang manis. Kematian yang dibayangkan sebagai kebahagian berbalik
menjadi bagian paling menakutkan pada episode hidup Eguci. Dan simbolisme
lagi-lagi berdiri dalam sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Simbolisme Kawabata
berdiri layaknya tokoh Thomas Wolfe dalam film Genius dan Soe Hok Gie di
film Gie ketika menatap pantai, dan maut adalah sesuatu yang luas dan
tak terkira dan kemudian datang dengan segala penyesalan.
Simbolisme
lain Kawabata dalam Rumah Perawan tegak sebagai bentuk penjelajahan akan
tubuh membentuk kritik tajam perihal hasrat manusia, yang telah menciptakan
petaka, seperti halnya ekspektasi tentang kematian. Di mana hasrat hadir sebagai
ekploitasi pada wanita-wanita pulas; “Rumah ini adalah rumah yang dikunjungi
oleh lelaki tua yang tidak lagi dapat mempergunakan perempuan sebagai
perempuan,” dan menjadikannya boneka dalam pembiusan.
Kritik
tersebut menyasar pada hasrat yang membuncah sebagai pertanyaan eksistensialis
dalam kehidupan itu sendiri. Simbolisme kemudian menghadirkan lebih banyak
kegamangan dalam membaca segala kritik terhadap kehidupan di sekitar Kawabata,
yang banyak terjadi ekploitasi pada wanita. Seperti halnya ungkapan perempuan
itu menetap padanya sedangkan di bibirnya terbanyang senyuman yang ada dan
tiada. Dua sisi kesan tersebut melekat pada Kawabata, selalu tak pernah
menjelaskan apapun. Tapi hidup tetap berjalan dalam sinisme dan tragedinya, ada
hasrat tua dan ada boneka di dalamnya. []
Judul
Rumah Perawan
Penulis
Yasunari Kawabata
Penerjemah
Asrul Sani
Penerbit
Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal
122 halaman
Tahun Terbit