
Bagaimana Saya Membaca?
29 Januari 2020
Edit
/1/
Setelah membaca
tutorial membaca—meskipun
sekilas dan tidak ingin menyelesaikan, saya jadi teringat sewaktu masih sekolah
di SMP. Di mata pelajaran bahasa Indonesia, saya mendapatkan materi cara
membaca efektif dan cepat dan sebutan lainnya yang sudah terlupakan. Ingatan
saya hanya pada sekitaran judul materinya saja—yang itu juga entah, bukan isi materi.
Sekitaran ini maksudnya adalah waktu itu saya mempertanyakan, belajar cara
membaca biar apa? Sejak SD saya sudah bisa membaca kata, kalimat, dan paragraf (tidak
buta huruf). Bagi saya itu sudah selesai dan cukup. Mengapa harus belajar cara
membaca? Jadi materi pula.
Hal ini sama
juga dengan ketidakmengertian saya pada sebuah tutorial membaca yang tidak
selesai kubaca itu. Dunia ini sepertinya penuh dengan berbagai macam tutorial.
Saya bisa mendaftarnya melalui kegiatan sehari-hari: sejak dari bangun tidur,
hingga tidur kembali.
Tutorial bangun
tidur. Tutorial salat. Tutorial mandi. Tutorial menggunakan sabun. Tutorial
menggunakan sikat. Tutorial menggunakan sampo. Tutorial keluar-masuk kamar
mandi. Tutorial memakai baju. Tutorial beli makan. Tutorial makan. Tutorial
minum dan seterusnya hingga tutorial tidur (Jokpin membuat ini, Buku Latihan
Tidur, silakan baca dan tersenyumlah).
Betapa dunia ini
penuh dengan berbagai macam tutorial. Bagi saya, dunia tutorial menunjukkan
sesuatu: pengguna diyakini belum bisa menggunakan sesuatu itu dengan baik
sesuai dengan perspektif yang membuat tutorial. Untuk itu, diperlukan sebuah
tutorial. Sungguh terlalu,
kata Haji Roma. Apakah
semuanya harus ada panduannya? Jika iya, berarti semua manusia tidak tahu
apa-apa.
Perihal panduan,
saya tidak masalah jika salat dibuatkan panduan (buku yang sudah cetak ratusan
kali: Risalah Tuntunan Shalat Lengkap). Tapi jika panduan membaca (bukan
yang baru belajar membaca kata, kalimat, paragraf: buta huruf)? Bagi saya itu
sangat koersif sekali. Apalagi dengan kalimat seoptimis ini:
Setelah membaca
dan mempraktekkan ini, dijamin lebih tetap-ingat buku-buku yang kamu baca. (Kamu
bisa membaca artikelnya di sini dan di sini)
Membaca kalimat
itu setelah judul, saya ingin menikah saja. Oh,
bukan, ingin berhenti membaca (saya tidak tertarik sama sekali). Karena sejak
kalimat pembuka sudah sebegitu percaya diri sekali, seperti pengobral agama
yang itu-itu: kamu akan masuk surga jika kamu beli ini dan itu. Hadeh. Ungkapan
kalimat pembuka yang saya kutip di atas, bila dipelesetkan akan seperti ini
mungkin: "ini cara membaca
yang menjaminmu masuk surga."
Membaca—yang bagi saya adalah
urusan privat—ternyata
juga dicampuri oleh orang lain. Demi sebuah 'niat baik' agar orang-orang bisa
membaca dengan baik seperti si pembuat tutorial. Alangkah pelik dunia ini, jika
membaca saja harus didikte. Meskipun tulisan yang saya baca tidak mengharuskan
(baca: memaksa), akan tetapi kalimat pertama seperti mencoba memaksa dengan
cara lain: kalau mau membaca baik, bacalah panduan ini. Alamak!
Bagi saya,
perkara membaca adalah sebuah kemerdekaan pribadi dan sesuatu yang sederhana,
jangan direcoki dengan panduan luar biasa itu. Saya jadi membayangkan,
bagaimana misalnya nanti, panduan ini diajarkan di sekolah. Lebih-lebih
diwajibkan kepada siswanya. Alangkah susahnya menjadi merdeka, sampai aktivitas
untuk beroleh kemerdekaan saja sudah dirampas oleh dunia panduan.
Bahkan seorang
Virginia Woolf saja dalam esainya berjudul How Should One Read a Book?
ia memulainya dengan sebuah rambu-rambu bahwa tanda pertanyaan dalam akhir
judulnya mungkin jawabannya hanya berhasil untuknya saja, tidak untuk pembaca.
Maka, "Each must decide the question for himself."
Lalu apa nasihat
terbaik bagi pembaca? Virginia Woolf menuliskan, "the only advice, indeed, that
one person can give another about reading is to take no advice, to follow your
own instinct, to use your own reason, to come to your own conclusions."
Maka, seperti
Virginia Woolf, tulisan ini tidak ingin menghadirkan panduan semacam tulisan
panduan membaca di atas. Tulisan ini hanya akan menceritakan, bagaimana saya
membaca. Saya tidak ingin mendikte atau memberi iming-iming atau mewajibkan
pembaca untuk mengikuti. Karena saya yakin setiap manusia punya cara
masing-masing dalam membaca.
Juga karena
Virginia Wolf menuliskan,
"to admite authorities, however heavily furred and gowned, into our
libraries and let them tell us how to read, what to read, what value to place
upon what we read, is to destroy the spirit of freedom which is the breath of
those sanctuaries.”
Sebelum
menceritakan bagaimana saya membaca, saya akan menjawab terlebih dahulu
pertanyaan: mengapa kita semua harus membaca? Pembaca sekalian bisa menentukan
jawabannya sendiri-sendiri.Di sini kalimat "kita semua harus membaca"
beroleh gaungnya, sesuai dengan jawaban masing-masing dari kita.
Sedangkan
jawaban saya yaitu:
karena membaca selayaknya pintu rumah. Setelah membuka dan masuk ke dalam, kita
akan mengerti sesuatu. Membaca adalah pengantar tidur saya. Membaca adalah
sebuah perjalanan saya. Membaca adalah pencair es batu di kepala saya dan
seterusnya dan seterusnya.
Sekali waktu,
seorang pernah bertanya,
"membaca di situ membaca apa?" Saya jawab apa saja, baik teks maupun
nonteks, termasuk membaca kamu. Aih.
Objek bacaan adalah semuanya. Ini sama halnya dengan perintah Tuhan kepada nabi
Muhammad saw: bacalah! Nabi tidak hanya membaca teks saja, ia membaca semuanya.
(Tapi tulisan—Bagaimana
Saya Membaca?—ini lebih kepada
membaca buku).
Setelah kita
ketahui tentang betapa pentingnya membaca, saya akan melanjutkan dengan menuliskan
bagaimana saya membaca—jangan
dianggap ini panduan,
ya! Sebelumnya, ada hal
yang perlu diingat pembaca yang baik hati: karena saya tidak mempunyai prestasi
apa-apa di bidang membaca dan menulis, sebuah catatan bagaimana saya membaca
ini tidak perlu dirisaukan. Saya tidak akan membuat suatu ultimatum jaminan
bahwa dengan mengikuti bagaimana saya membaca, kamu bakal beroleh sesuatu. Sama
sekali tidak.
Kalau sudah
diingat dan dipahami. Beginilah saya membaca: pertama sekali, saya harus pegang
tangan pacar—Oh,
lupa. 'Kan tidak punya!—buku maksudnya. Lalu
melihat-lihat sampul depan dan belakang. Membukanya. Mulai membaca. Selesai.
Selesai membaca,
saya tidak harus mengingat-ingat isinya. Cukup memahami sesuatu. Jika sekali waktu,
kebetulan ingat; ini bagus, jika tidak ingat; itu tidak masalah. Membaca bagi
saya adalah aktivitas yang merdeka. Saya tidak merasa terbebani jika tidak
mengingat sesuatu dari buku yang sudah dibaca. Bahkan tidak harus juga
meresensi setelahnya (biar saja dianggap konsumtif). Membaca adalah sebuah
kemerdekaan bukan pemberat pancing—Eh, pemberat pikiran!
Itulah bagaimana
saya membaca. Sedari awal saya sudah mengingatkan: jangan dirisaukan. Jika
pembaca risau, saya akan risau. Lepaskan saja. Ha-ha-ha.
/2/
Pembuat panduan
membaca yang budiman!
Sebuah panduan
membaca—jika berkeinginan
sekali membuat sebuah panduan—harusnya
hanya merumuskan tentang tujuan yang ingin dicapai dalam membaca saja. Misalnya
tujuan membaca adalah tentang meraih kemerdekaan. Cukup itu saja. Bila sudah
diketahui tujuannya (meraih kemerdekaan), setiap manusia memiliki cara
sendiri-sendiri untuk meraih kemerdekaannya. Bahkan, tujuan itu juga bisa
berubah-ubah. Misalnya, membaca adalah tentang mengisi waktu luang atau
mengingat-ingat sesuatu, maka pasti juga pembaca memiliki caranya
sendiri-sendiri. Tanpa perlu didikte dan dipastikan, apalagi dikasih jaminan
omong kosong—jaminan
ya singkong dong.
Begitulah
seharusnya panduan membaca. Karena bagi saya, membaca adalah kesunyian masing-masing.
Selayaknya wisuda, cinta,
dan mati. []
Tambak Aji, 05
Januari 2020
![]() |
Membaca dengan riang. Menulis dengan gembira. Sila mampir ke rumahnya di raungruangriang.blogspot.com. |