
Bukan Deru Tangis Burisrawa
3 Januari 2020
Edit
1.
Sejak berkeinginan menonton pementasan teater,
saya sudah bersiap diri untuk dikuasai penuh oleh ruang pementasan. Saya
membayangkan akan dilibatkan dengan emosi-emosi tokohnya. Tapi, malam itu saya
salah, ruang pementasan begitu hambar. Saya masih berkuasa penuh terhadap diri
saya. Emosi saya biasa-biasa saja, tidak ada empati yang tumbuh. Saya tidak ada
keterikatan dengan pementasan sama sekali. Juga tidak ada keterikatan dengan
tokoh-tokoh. Dan alur cerita sama sekali tidak terngiang-ngiang di kepala. Inilah
yang saya rasakan ketika menonton pementasan teater dengan judul Deru Tangis
Burisrawa. Sepanjang pementasan (dalam tempo yang lambat dan sangat
membosankan) saya ingin berhenti menontonnya. Tapi saya penasaran, mengapa
disajikan semacam ini.
Setelah pementasan usai. Penulis naskah
mengatakan bahwa naskah ini menyesuaikan dengan keadaan para milenial saat ini.
Entahlah, mungkin ini yang diinginkan. Sajian yang cocok bagi para milenial.
Melalui pementasan ini 'milenial' yang dimaksudkan seperti sesuatu yang
bersifat tidak serius, tidak ada penguatan karakter, memakai kata-kata 'quotable',
dan cinta-cintaan yang klise.
Dan mungkin juga karena pementasan ini adalah
wayang kloning yang tidak diinginkan menyamai cerita wayang sungguhan. Tapi
jika menggunakan kata 'kloning', ia seharusnya memuat beberapa unsur
pewayangan. Karena dilihat dalam wikipedia, kloning dalam peristilahan biologi
adalah proses menghasilkan individu-individu dari jenis yang sama (populasi)
yang identik secara genetik. Namun entahlah, semuanya kembali kepada penggagas
wayang kloning.
Padahal melalui kostum dan setting panggung
sudah sangat baik dalam upaya menggambarkan masa lampau: Merepresentasikan masa
kerajaan. Meskipun ada beberapa properti yang sangat mengganggu saya. Misalnya buku
laporan yang dibawa Togog, tas berisi entah apa, piring penyajian makanan dan
sebagainya, yang dicampuradukkan, antara dunia kini dengan dunia lampau.
Mendapati itu, saya tidak mengerti, apa sebenarnya ide yang ingin digagas.
Apakah properti-properti masa kini itu dihadirkan sebagai upaya membedakan
antara wayang sungguhan dengan wayang kloning. Atau sebagai suatu dobrakan dari
dunia masa kini terhadap masa lalu. Atau ini hanya karena keterbatasan dari
penyelenggara untuk menyediakan properti-properti yang juga bersifat masa
lampau--ini sebenarnya diakui sendiri oleh sutradaranya. Tapi bagi saya, justru
sebab itu, saya tidak bisa menikmati sajian cerita, karena mata saya kemudian
tertuju pada properti-properti yang tidak seirama itu. Tampak wagu dan tidak
menyenangkan.
2.
Pementasan berjudul Deru Tangis Burisrawa
yang disajikan ini bercerita tentang betapa besarnya cinta Burisrawa (karakter:
jahat) terhadap Subadra. Karena cinta itu, ia lalu memohon pada Batari Durga
(karakter: jahat) untuk membantunya mewujudkan pertemuan dengan Subadra
(karakter: baik). Permintaan itu dikabulkan, namun ada nilai yang harus
dibayar. Sesuatu yang sangat diinginkan Batari Durga dan tidak dipikirkan
Burisrawa: peperangan. Dengan ramuan dan ajian Batari Durga, Burisrawa menculik
Subadra. Penculikan itu membuat geger. Lalu Bima mengobrak-abrik setiap aset
yang dimiliki oleh Burisrawa dan menantangnya. Akan tetapi, kegarangan Bima
(karakter: baik dan buruk) mentah oleh makanan 'ladu' dan setas berisi uang
(entah apa?) yang diyakinkan oleh Burisrawa menjadi tambahan amunisi dalam
peperangan Baratayuda. Bima terbujuk, ia kembali. Setelahnya, Arjuna (karakter:
baik) datang bersama Srikandi (karakter: baik) menjemput Subadra. Tapi, Arjuna
sudah tidak mengenali lagi istrinya, sebab wajah Subadra yang berubah cacat
terkena ramuan. Hilanglah cinta Arjuna, ia tidak ingin membawa pulang Subadra.
Subadra menangis. Cerita selesai.
Ada beragam versi kisah pewayangan Jawa
tentang konflik antara Arjuna, Subadra dan Burisrawa. Hanya saja, modifikasi
alur cerita pementasan dengan judul Deru Tangis Burisrawa tidak begitu
kuat. Temponya terlalu lambat. Dan bagi saya, konflik yang dibangun kurang
mengena. Begitu juga pendalaman karakter tokohnya terkadang wagu dan lemah.
Karakter itu juga terkadang paradoks dengan cerita pada umumnya. Misalnya
karakter tokoh Bima yang dipahami sebagai seorang ksatria sejati dan pantang
kalah, ternyata takluk dengan iming-iming makanan dan harta. Seperti ingin
mengobrak-abrik pakemnya. Akan tetapi hal ini justru menjadikan cerita kabur.
Karena cerita hadir dimaksudkan untuk merepresentasikan watak secara jelas:
pertentangan antara yang baik dan yang jahat. Dan dengan paradoks Bima (baik
dan buruk) representasi itu menjadi kabur.
Hal-hal itulah yang membuat emosi saya tidak
bisa terbangun. Saya sama sekali tidak merasakan empati terhadap tokoh. Bahkan,
maksud untuk menjadikan Burisrawa sebagai tokoh utama terkalahkan oleh tangis
Subadra di akhir adegan. Subadra lebih dominan dalam menarik emosi (meskipun
tidak juga berhasil menarik emosi saya) daripada Burisrawa.
Bila melihat judulnya, pementasan ini adalah
cerita tragedi. Maka menurut Aristoteles dalam Puitika, cerita yang
ditujukan adalah untuk merepresentasikan peristiwa-peristiwa mengerikan dan
menyedihkan.
Ada tiga bentuk tragedi menurut Aristoteles: a) orang-orang sopan
yang menjalani sebuah perubahan dari nasib baik menjadi sial (tidak mengerikan
ataupun menyedihkan: biasa saja); b) orang-orang jahat yang berubah dari nasib sial menjadi bernasib
baik (bentuk paling buruk); c) orang yang sepenuhnya keji, yang bernasib baik ke nasib buruk
(tidak bisa menumbuhkan rasa ngeri dan iba); d) orang yang tidak lebih unggul dari kita dalam
hal kebaikan dan keadilan mendapatkan nasib buruk karena kesalahan (inilah
bentuk yang baik, karena bisa menimbulkan rasa ngeri dan iba).
Dan pementasan itu termasuk bentuk yang
pertama karena orang jahat mendapatkan nasib buruk. Sama halnya dengan orang
baik mendapatkan nasib baik. Hal ini biasa saja dan akan sulit menumbuhkan rasa
ngeri dan iba kepada penonton. Akibatnya cerita itu akan hambar dan biasa-biasa
saja. Ini terjadi di pementasan Deru Tangis Burisrawa.
Soal pementasan ini (baca: cinta), saya lalu
teringat dengan film yang secara baik mengkolaborasikan antara dunia layar
kaca, musik dan teater. Film itu berjudul Birdman or (The Unexpected Virtue
of Ignorance). Film yang tayang pada tahun 2014 arahan Alejandro Gonzales
Inarritu bercerita tentang Riggan Thomson (Michael Keaton) seorang yang mencoba
keluar dari bayang-bayang masa lalu (menjadi aktor terkenal dalam trilogi film
berjudul Birdman). Demi keluar dari bayang-bayang itu (seorang pemeran
Birdman) Riggan ingin mencoba mencari keberuntungan (baca: terkenal) dengan
tampil sebagai pemain, penulis naskah dan pengarah dalam pementasan teater di
Broadway. Dalam film itu, ia mementaskan cerpen terkenal Raymond Carver
berjudul What We Talk About When We Talk About Love.
Ada banyak rintangan yang dihadapi Riggan,
selain bayang-bayang sosok Birdman yang selalu melemahkan, juga keluarga dan
kritikus. Semua itu dilewatinya dengan baik dan pementasan berhasil mendapatkan
apresiasi dari kalangan penonton maupun kritikus.
Cerita pementasan naskah What We Talk About
When We Talk About Love, kebetulan seturut juga dengan kehidupan Riggan.
Kita akan terpukau dengan akhir dari pementasan. Riggan yang berperan menjadi
Ed mendapati Terry bersama Mel dalam satu kamar. Ed marah, ia mangacungkan
pistol. Mel mengatakan Terry tidak mencintainya. Dan Terry mengiyakan. Ed lalu
berucap,
"I'm
nothing". Dan menembakkan pistol di kepala.
Melalui pementasan itulah, seorang Ed yang
sebenarnya dikarakterkan jahat mampu menarik empati penontonnya. Penonton lalu
terbawa emosi. Dan kemalangan (baca: bunuh diri) itu mencapai tujuan tragedi
yaitu merepresentasikan peristiwa mengerikan dan menyedihkan.
3.
Saya memutuskan mengikuti diskusi yang
diadakan pasca pementasan usai. Demi mendapatkan jawaban tentang hal-hal yang
masih belum jelas terkait pementasan. Sayangnya saya tidak mendapatkan apa-apa
selain pernyataan sutradara dan penulis naskah. Sutradara mengatakan ini
hanyalah sebuah pementasan hiburan semata. Dengan perkataan ini, membuat selera
untuk bertanya hilang sekejap. Tidak hanya sutradara, bahkan penulis naskah
menganggap enteng karena skenario yang dibikin mencoba menyesuaikan dengan
kondisi milineal sekarang ini (terkhusus kondisi yang sedang dialami secara
langsung oleh pemain). Maka, yang diambil adalah persoalan cinta.
Dengan jawaban-jawaban itu, saya membincangkan
bersama teman tentang pementasan ini sembari berjalan menuju ke kontrakan.
Obrolan kami, selain tentang kekecewaan-kekecewaan, berkeinginan menawarkan
alur cerita lain.
Teman saya menawarkan sebuah modifikasi
cerita. Karena tokoh utama dalam pementasan ini adalah Burisrawa, akan lebih
mengena jika semua harta dan kekuasaan Burisrawa hilang ditambah dengan
cintanya yang tidak terbalas. Kehilangan semuanya inilah yang membikin deru
tangis Burisrawa.
Tapi saya tidak bersepakat, sebab jika seperti
itu, penonton belum tumbuh empati sama sekali terhadap Burisrawa (karena ini
tragedi, keberhasilannya adalah timbulnya empati penonton). Menimbulkan empati
penonton terhadap tokoh berkarakter jahat itu sangat sulit. Hal inilah yang
harus ditekankan.
Memandang itu, Burisrawa sebagai tokoh utama
harus diperlihatkan sisi-sisi kebaikannya, supaya emosi penonton terbangun.
Misalnya, Burisrawa setelah ditolak oleh subadra, ia menjadi pribadi relijius
dan suka membagikan hartanya. Setelahnya, mungkin Burisrawa bisa melakukan
percobaan dua kali untuk menculik Subadra. Kali ini tanpa mantra apapun. Tapi
dengan menyerang kerajaan Arjuna. Inilah sesuatu yang diinginkan Batari Durga.
Burisrawa hampir menang dan menculik Subadra. Tapi Subadra menolak dan
Burisrawa bertanya, "Mengapa kamu tidak mau? Arjuna sudah mengabaikanmu" Subadra
menjawab,
"Karena
aku tidak mencintaimu dan aku hanya mencintai Arjuna." Seketika semuanya
hancur dan Burisrawa berkata, "Aku tidak ada. Aku tidak ada." Ia menangis dan menangis.
Dalam hal ini, jika ingin memodifikasi cerita
pewayangan, bagi saya sekalian saja. Tapi karakter dan tokoh pakem pewayangan
tetap dipertahankan, alur ceritanya saja yang dirubah.
Memandang itu, jalan ceritanya mungkin bisa
dibikin seperti ini:
Adegan 1
Diperlihatkan kegilaan Burisrawa terhadap
Subadra.
Adegan 2
Burisrawa mencari cara untuk mendapatkan
Subadra.
Adegan 3
Batari Durga memberi cara untuk mendapatkan
Subadra.
Adegan 4
Burisrawa menculiknya (hal ini bisa
dipersingkat dengan langsung membawa Subadra di kerajaan Burisrawa).
Adegan 5
Dengan Subadra di kerajaannya, Burisrawa
berubah. Ia membagi-bagikan hartanya. Senang bercengkerama dengan anak-anak.
Dan kebaikan-kebaikan yang lain.
(Cinta adalah pemancar kebaikan itu dan inilah
yang akan menjadi pemicu tumbuhnya rasa ngeri dan iba).
Adegan 6
Tidak berselang lama. Bima datang, tapi
ditolak Subadra. Subadra ingin yang menjemputnya adalah Arjuna.
Adegan 7
Arjuna datang menjemput. Dibawa kembali. Tapi
dengan kesangsian Arjuna: Burisrawa sudah menyentuh Subadra. Sebab ini, Subadra
diabaikan oleh Arjuna.
Adegan 8
Burisrawa tidak terima atas Arjuna. Ia ingin
menculik lagi Subadra. Terjadilah peperangan. Dan Burisrawa hampir membawa
Subadra. Tapi Subadra tidak mau. Terjadilah dialog di antara keduanya.
Burisrawa: Mengapa kamu tidak mau? Arjuna sudah mengabaikanmu.
Subadra: Aku tidak mencintaimu. Dan aku hanya mencintai
Arjuna.
(Subadra hilang seketika: moksa)
Burisrawa: Aku tidak ada, aku tidak ada.
Burisrawa menangis. Ia menangis. Sebab tidak
dicintai dan tidak memiliki.
Selesai.
Alur cerita seperti inilah yang saya tawarkan
untuk mewujudkan tragedi Deru Tangis Burisrawa benar-benar terjadi.
4.
Menonton pementasan Deru Tangis Burisrawa
(Kamis, 19/12/19) oleh KPT BETA FITK UIN Walisongo Semarang, saya mendapatkan kesan bahwa
cinta itu adalah sesuatu yang tidak serius. Cinta adalah hal menye-menye bagi
para milenial. Cinta hanya soal "quotable". Saya tidak tahu,
milineal yang mana maksudnya. Saya juga milenial, namun bagi saya cinta adalah
sesuatu yang serius. Ia sangat dibutuhkan oleh setiap manusia—meminjam istilah Kyai
Budi—selayaknya
udara. []
![]() |
Membaca dengan riang. Menulis dengan gembira. Sila mampir ke rumahnya di raungruangriang.blogspot.com. |