
Menulislah!
15 April 2020
Edit
Saya termasuk orang yang percaya dengan kata-kata Pramoedya
Ananta Toer, seorang penulis kenamaan yang berpulang 30 April 2006 silam; begini kata beliau, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak
menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja
untuk keabadian.” Kalimat yang begitu kuat untuk mengobarkan semangat menulis! Luar
biasa. Pram, sapaan beliau, memiliki karya tulis yang tidak sedikit dan banyak
menginspirasi generasi muda.
Saya
sarankan kalian mesti membaca karyanya.
Dari kata-kata Pram itu saya berpendapat, bahwa
untuk diakui di masyarakat dan dikenang sejarah, maka kita harus menulis. Namun,
masih saja ada yang bertanya, “Kenapa harus dikenang di masyarakat dan diakui
sejarah? Hidup, kok, ribet, hidup ya hidup saja.” Tunggu
dulu, tampaknya orang yang bertanya demikian perlu tahu kata-kata yang pernah diutarakan
Buya Hamka, “Kalau hidup sekadar hidup babi di hutan
juga hidup, kalau kerja sekadar kerja, kera juga bekerja.” Jadi, kalau hanya 'sekadar', maka kita tidak jauh beda dengan hewan; sepertinya itu makna dari
kalimat bijak Hamka. 'Hamka' nama penanya, merupakan akronim nama aslinya, Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah, wafat pada 24 Juli 1981. Sama seperti Pram, ia juga
penulis yang banyak menulis buku.
Kembali lagi soal maksud kata ‘menulis’ dari Pram, saya
begitu yakin menulis yang dimaksud Pram ialah menulis perihal kebaikan. Suatu kebaikan yang berdampak bagi kehidupan
manusia, apa pun bentuk tulisannya, entah karya tulis ilmiah, karya tulis nonilmiah,
atau karya tulis populer. Seluruhnya bakal menjadi bukti nyata isi kepala kita.
Sebenarnya, diakui masyarakat atau dikenang sejarah
juga bukan yang utama dari esensi menulis. Itu semua semata-mata bonus yang diperoleh
apabila tulisan kita bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Justru masalah utama
bagi orang seperti saya adalah kesulitan untuk memulai menulis. Sungguh, meski gemar membaca, nyatanya
saya tidak pandai menulis. Menulis karya ilmiah saja tidak kunjung selesai,
makanya, hingga kini,
saya belum
bergelar Strata-1.
Entah ini nasib atau takdir, tapi dulu sewaktu
daftar kuliah,
saya takjub sebab memperoleh nomor induk mahasiswa A2A013013. Serius! Dulu saya tergolong orang yang meyakini angka 13
pembawa kesialan. Selain takhayul tentang kesialan, ternyata angka 13 juga
bermakna kepemimpinan—Loh, kok, jadi
membahas angka 13, mohon maaf. Apa pun itu, kepercayaan kita tetap kepada
Tuhan semata, pemilik kesempurnaan, dan rencana dariNya niscaya indah. Nah,
kalau kita ada salah, ya memang kitanya saja yang enggak bener, he-he.
Jadi teringat Chairil Anwar, penyair itu berucap, “Bukan maksudku
berbagi nasib, tapi nasib adalah kesunyian masing-masing.” Ini benar, tiap orang punya nasibnya sendiri. Terkadang terasa sangat sunyi, hamba
tak karuan. Setiap dari kita melihat masalah dari kacamata masing-masing. Kita
hidup di antara benar dan salah, ditugaskan
melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan.
Chairil dijuluki
"Si Binatang Jalang"
(dari puisinya yang berjudul Aku). Ia tutup usia di umur yang terbilang cukup muda yaitu 26 tahun,
pada 28
April 1949. Andai bernasib panjang umur, tentu
perjalanan karyanya jauh lebih panjang pula.
Namun, wafatnya Chairil di usia muda tidak membuat orang lupa akan
namanya.
Sampai
saat ini ia masih
terkenang di masyarakat
dan diakui sejarah. Sekali lagi benar kata Pram, “Menulis adalah bekerja untuk
keabadian,” meski raga tak lagi bernyawa, namun seorang penulis akan tetap hidup
hingga masa entah.
Para penulis terdahulu telah memberi teladan. Mereka mempunyai karya yang apik, dan mampu menggerakkan generasi
selanjutnya untuk
terus menulis.
Dari
pemikiran itulah tulisan ini terlahir sebagai hasil dari muhasabah dan ikhtiar
untuk terus belajar menulis. Peradaban manusia akan tetap hidup bila masih ada para penulis di setiap masanya. []
![]() |
Aku yang nulis, kamu yang baca, kita serasi. Lebih dekat dengannya di Instagram @riswanto.gemilang. |