
Lentera di Kisik Itu
18 Juni 2020
Edit
Siang
itu Son
Aji tak menyangka:
saya menyamperi kediamannya di kampung Plawangan di
Rembang tanpa
berkabar sama sekali. Sebab
hari itu pula saya hendak
menuntaskan rasa penasaran pada suatu perpustakaan di pesisir
pantai Plawangan—dan dialah pendirinya.
Ia
menemui saya di teras
rumah sambil mengucak mata, tampak agak sembap. Barangkali ia terbangun oleh kedatangan saya.
Usai saya jelaskan maksud hati, ia membuat sela di pintu, kemudian mempersilakan saya
masuk. Lelaki tiga-puluhan tahun itu
amat meladeni saya dan nyaris
tersenyum setiap saat. Rambutnya sebahu dan
ikal, membuatnya tampak seperti kebanyakan
teman berambut gondrong saya
yang karib. Atau, persisnya ia seperti penulis A.S. Laksana, hanya
saja warna rambutnya belum malih kelabu.
Kami melungguh, lalu ia menjelaskan dengan
sahaja apa yang ia tekuni:
gubuk baca yang ia namai Lentera Kisik. Di tempat kami, “kisik” berarti pantai. Sebab
gubuk itu berada di
tepi pantai, maka ia dinamai demikian.
Tak luas, kalau ditaksir paling-paling tiga
kali empat meter,
dan ia berdiri memunggungi pantai. Sejumlah lukisan bermotif bunga terpacak di dindingnya. Juga beberapa bangku besar-kecil dan alas duduk berserakan di sekeliling.
Meskipun cilik dan agak berantakan,
tempat itu enak dipandang.
Bayangkan saja: kau duduk dan membaca
suatu buku, kalau matamu mulai lelah, kau bisa berpaling pada pasir pantai atau naik-turun
perahu oleh ombak; juga kelepak burung camar, kalau tampak. Atau panorama menjelang magrib: langit
lembayung,
juga desir ombak, juga pohon cemara yang
jarang-jarang.
Bagi saya tempat
itu menawan, tapi tidak bagi Son Aji. Bagi
seorang nelayan, tempatnya biasa saja, begitu
pula orang-orangnya. Namun, yang pasti, hal biasa itulah yang
membuatnya mendirikan Lentera Kisik;
untuk merawat tempat biasa itu, juga orang-orang biasa itu.
Keinginannya
sederhana saja: mengasih
ruang bagi ibu-ibu yang tengah momong anak. Selain itu, bapak-bapak dapat bercengkerama, barangkali soal ikan, soal si janda manis; atau
mereka sekadar saling cicip rokok; atau memalingkan anak-anak
dari keriuhan gawai; atau
mengajak pemuda-pemuda seumurannya saling sengkuyung.
“Ikhtiar mendirikan Lentera
Kisik,” tutur Son Aji, “sebetulnya untuk
memanfaatkan tanah luang di
pantai saja. Agar tak cuma buat wisata.”
Namun,
alasan sederhana
itu berdampak besar. Orang-orang mulai sungkan membuang sampah ke
pantai, yang mana kelakuan itu telah
jadi penyakit menahun. Saya juga pernah mendapati rasa sungkan semacam itu di Demak,
sewaktu mengamati burung hantu
bersama seorang kawan. Pemilik penangkaran burung hantu memberi tahu kami,
semenjak orang-orang
berdatangan untuk menetap,
tetangganya menjadi segan membuang sampah di kali
atau di belakang rumah;
mereka memilih membakarnya. Barangkali
perasaan itu pula yang ditunjukkan orang-orang di sekitar
Son Aji.
“Jadi, setelah adanya gubuk
ini, masyarakat jadi sungkan membuang sampah
sembarangan,” Son Aji menambahkan. “Kini
mereka lebih memilih membakarnya
di depan rumah sendiri.
Tentu saja otomatis pantai jadi
bersih dan nyaman.”
Ia mungkin merasa agak lega;
ia tak perlu membuat woro-woro
pada plang dengan tulisan macam-macam. Alih-alih
mengingatkan kebersihan, justru sebaliknya.
Son Aji berpikiran jauh ke depan. Ia sadar kalau mengandalkan rasa
sungkan tentu saja tak
cukup. Apabila sewaktu-waktu
perpustakaan kecil itu tak ada lagi atau menjadi
terbengkalai, tetangganya barangkali akan kembali membuang sampah di sana. Itulah sebabnya ia melirik peluang pada anak-anak,
dengan menyediakan buku-buku bertema lingkungan.
“Anak-anak lebih
pintar, Mas,” katanya pada saya. “Kadang dari membaca
mereka berani menegur ibuk-bapaknya. Ya,
pada akhirya kembali lagi,
kan. Mereka kisinan.” Sebab itulah di sekitar perpustakaan banyak
anak kecil. Mereka
datang kira-kira pukul delapan
pagi, dan baru pulang kalau sudah siang, atau telah pukul tiga sore.
Kini
sesudah tiga bulan—terhitung sejak April lalu—beroperasi, gubuk Lentera
Kisik telah memiliki tujuh
ratus koleksi buku dari beragam genre. Dua
ratus buku dari pemerintah desa
dan sisanya diperoleh dari uang patungan. Macam
buku-buku itu mulai dari buku biografi, resep
masakan kesukaan ibu-ibu,
sampai tentang kewarganegaraan. Dan banyak buku lain, yang penting
dapat dibaca, dan
orang-orang kisik Plawangan bisa
tetap biasa-biasa saja.
Lentera
Kisik telah banyak menebar kemanfaatan di sekelilingnya. Laksana lentera
sungguhan, geliat api kecil perpustakaan itu bakal
terus benderang di sana, seterusnya. []
![]() |
Pengrajin puisi, prosa, juga esai. Buku puisi debutnya, Sepotong Ikan Kerinduan Ibu (Pustaka Bacabukumu, 2020), terbit Februari. Pengurus azizafifi.wordpress.com. |