
Pak Tua Malang yang Kesepian
14 Juli 2020
Edit
Usai mengkhatamkan novel
ini, saya teringat Sapi, Babi, Perang,
dan Tukang Sihir anggitan Marvin Harris—buku terbitan Marjin Kiri pula.
Buku itu memperbincangkan misteri: hal yang kerap kali kita abaikan—seperti halnya
belantara Amazon yang misterius, yang begitu fasih dikenal oleh orang-orang
Indian Shuar, tapi tidak oleh para kolonialis—sekumpulan pemukim baru, manusia
modern—yang berbondong-bondong datang dengan lidah menjulur dan liur menetes; sekumpulan
manusia pendamba emas dan hal-hal eksotik di sana. Mereka menggilas pepohonan, rawa-rawa,
atau padang rumput untuk dijadikan perkebunan, tambang emas, atau pemukiman
baru. Satwa-satwa dijerat demi sekadar dikuliti, atau dijual hidup-hidup untuk
peliharaan di kebun-kebun binatang dunia Barat yang putih. Mereka pun pernah
melakukan hal yang sama pada sejumlah orang berkulit hitam, berabad-abad silam.
Ialah Luis SepĂşlveda, pak
tua yang memandu kita melalui Un viejo que leĂa novelas de amor—Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta—untuk
mengetahui seberapa jauh manusia mampu merusak, menumbuhkan kemalangan bagi
siapa saja yang bahkan tak mengerti apa-apa. Bagi saya, novel ini
mempertontonkan kolonialisme sebagai muasal segenap rentetan kemalangan manusia
sekarang.
Novel yang mengambil
waktu ketika kolonialis baru saja berdatangan dan Amazon masih tak serusak
sekarang, SepĂşlveda berkisah tentang Antonio JosĂ© BolĂvar Proaño, si pak tua
yang mengalami tiga kemalangan yang membuatnya sepi sendiri. Pertama, ia
kehilangan istrinya, Dolores Encarnacion del Santisimo Sacramento Estupinan
Otavalo, di tahun kedua tatkala tinggal di sebuah bukaan pemukiman baru bernama
El Idilio. Kepergian mereka dari San Luis, kampung halamannya, tak lepas dari
bacotan para tetangga nista. Di pemukiman baru itu, Dolores mati disergap
malaria. Seperti pemukim baru lainnya, Antonio Bolivar dan istrinya sungguh kesulitan
untuk bertahan hidup, dan kematian Dolores membikin tambah runyam keadaan
Antonio Bolivar.
Antonio Bolivar menanam
dendam kesumat pada neraka hijau bernama Amazon itu. Namun, hidup mesti terus
berjalan. Orang-orang Indian Shuar membantu para pemukim baru untuk bertahan
hidup—mengajari cara berburu, memberitahu cara mengenali buah yang dapat
dimakan, membangun gubuk tahan banjir, dan sebagainya. Dendam kesumat Antonio
berubah jadi asap yang sirna berkat air hujan. Ia memutuskan belajar cara hidup
orang Indian Shuar, yang bebas dan mengerti alam. Akhirnya ia menjadi seperti
mereka, namun bukan bagian dari mereka.
Lalu, ia bertemu Nushino,
seorang Indian Shuar lain dari pedalaman Amazon yang penuh rahasia. Mereka
bersahabat, berburu bersama, dan menukar buruan dengan secukupnya keperluan kepada
para pemukim El Idilio. Sampai suatu ketika Antonio Bolivar kehilangan Nushino,
yang mati ditembak orang-orang kulit putih. Kehilangan itu tambah menyakitkan
sebab ia diusir selamanya dari perkemahan Indian Shuar. Begitulah kemalangan
kedua menimpanya.
Antonio Bolivar yang
malang dan kesepian tinggal sendiri di sepetak gubuk di El Idilio. Di sana, menjalani
masa tua sendirian, ia membaca dan mengenal kisah-kisah cinta yang jauh dari
novel-novel yang diperolehnya dari dokter gigi Rubicundo. Baginya, membaca merupakan
sebuah penemuan mutakhir. Lebih dari itu, membaca merupakan obat dari masa tua
yang mengerikan, sebuah masa yang penuh dengan sepi dan sendiri. Kalau sebuah novel
wajib dipungut amanatnya, kita bisa memperolehnya dari situ. Ia pun memutuskan menggandrungi
aktivitas membaca kisah cinta. Bukan yang penuh bahagia, melainkan yang penuh
penderitaan luar biasa. Ia pak tua yang amat menyukai kemalangan, rupanya.
Seturut usianya yang
makin renta, Amazon yang lebih tua dari mesin-mesin besar yang menjarahnya pun
makin rusak. Seturut penjarahan itu pula, hak hidup makhluk lain semakin
terusik. Novel ini mengisahkan pula kebiadaban manusia lewat kolonialisme yang
dilakukannya kepada alam; itu membuat para penduduk asli dan satwa tertekan dan
memutuskan masuk ke belantara Amazon paling dalam. Hal yang dianggap orang
kulit putih sebagai ‘kemajuan peradaban’ membuat hutan jadi gundul, dan hewan
menjadi susut jumlahnya dan lebih buas perangainya.
Kebuasan itu menelan
korban. Seorang kulit putih, dengan hasil buruan tiga lembar kulit anak macan
kumbang, tewas mengenaskan oleh induk mereka. Walikota tambun yang amat pandir
menuding Indian Shuar, tetapi Antonio Bolivar membuat kebodohannya disaksikan
pemukim El Idilio. Di sini, tampak jelas bagaimana kepongahan khas orang-orang
terpelajar.
Saya dibuat tersenyum riang
oleh Yang Mulia Walikota terpelajar. Pak walikota memerintahkan perburuan yang
dipimpinnya sendiri, dan tampak lebih jelaslah kepongahan serta kedunguannya
yang amat sangat. Mulai dari mengenakan bot karet di tanah berlumpur, hingga
memberondong semak-semak. Di hadapan orang-orang yang dipimpinnya—termasuk si
pak tua—wibawanya betul-betul terinjak jadi setipis kulit lumpia berkualitas
paling buruk. Lantaran merasa tertekan dan bakal habis sehabis-habisnya, ia
memerintahkan pak tua seorang diri memburu si macan kumbang betina.
Kolonialisme adalah ke-sok-tahu-an orang-orang Barat kulit putih. Sejak masa itu dimulai, banyak sekali bangsa yang terbantai, terhapus budayanya, dan tercerabut dari pangkal. Mereka terpaksa tunduk di bawah moncong senapan para kolonialis, mengubah keyakinan, dan berpindah rumah demi ‘peradaban umat manusia’. Sejarah memperlihatkan bagaimana Indian Amerika Utara dicap sebagai orang-orang liar, kemudian dibantai. Kini, yang tersisa mendiami kamp-kamp suaka. Sama halnya bangsa Aztek di Meksiko maupun Inca di Amerika Selatan. Begitu juga dengan seluruh bangsa terjajah yang masih menanggung derita kolonialisme sampai sekarang, mungkin selamanya.
Kolonialisme juga menjangkiti bangsa terjajah. Lihatlah Indonesia. Sekejap kita akan menoleh ke timur, atau Senayan, atau kantor-kantor kelurahan tempat kita mengurus KTP-el. Oh, tak perlu jauh-jauh, batok kepala kita sesak olehnya.
Novel ini seolah-olah
menertawakan gagasan kemajuan manusia selama ini. Kita, yang silau akan pencapaian
orang Barat pun dibuat meringis. Dengan segala derita lingkungan yang lambat
laun ditanggung manusia, sambil memandangi resor mewah pinggir teluk yang
disakralkan suku setempat, di mana keduanya saling menjaga dan bergantung, kita
berujar: Hei, lihat apa yang kita bangun! Cantik, bukan?
(Kalau telah demikian,
sesungguhnya kita hanya tidak sadar oleh majunya orang-orang yang kita anggap
tak berpendidikan itu, yang primitif, dan arogan. Siapa, sih, yang bebal lagi
pandir: kita atau mereka?)
Antonio Bolivar menyanggupi
Yang Mulia Walikota terpelajar. Kemalangan ketiga akhirnya tiba. Ia berhasil
membunuh macan kumbang betina itu, salah satu anak asuh alam, seperti dirinya.
Dengan penuh kesedihan, sambil menangis ia mendorong tubuh macan itu ke sungai.
Usai menyumpahi seluruh manusia yang menjarah Amazon, pak tua itu menuju gubuknya, dan merengkuh novel-novel cintanya. Sepi sendiri, tak acuh pada kebiadaban umat manusia. []
Judul
Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta
Penulis
Luis SepĂşlveda
Penerjemah
Ronny Agustinus
Penerbit
Marjin Kiri
Tebal
133 halaman
Tahun Terbit