
Sepasang Mata yang Ia Cari
28 Juli 2020
Edit
Aku memperoleh kisah ini dari seorang pendatang yang kini meninggali kota yang sama denganku. Aku mengenalinya sebagai seorang tua yang masih dan terus menjajakan koran
ke tiap penjuru kompleks-kompleks
perumahan. Padahal,
ia hanya seorang diri.
Tiap sore ia
duduk bersandar kursi berpunggung rajut rotan yang telah keriting. Kacamata agak kusam tersampir di ujung hidungnya, namun ia amat jeli melihatku saat kebetulan lewat depan rumahnya sehabis membeli rokok ketengan. Usai menyadari kehadiranku,
pasti ia akan mempersilakanku
duduk di kursi lain di
sebelahnya. Dan aku tak enak hati apabila
mesti menolaknya.
"Ini,” katanya sembari mengulurkan kotak rokok beserta geretan,
“mari rokokan dulu. Anak muda
kok gak merokok,"
guraunya kemudian.
Sebenarnya
aku telah
mengantongi rokokku sendiri. Aku hanya mengambil geretan di atas bungkus Sukun
Merah kesukaannya dan mulai berebut
oksigen untuk menimbulkan bara di ujung rokok
kami.
Ia menutup korannya; terdiam memandangi plafonnya yang bolong-bolong. Tentu saja sambil mengembuskan sisa-sisa asap
dari mulutnya.
"Aku jadi
teringat,” tuturnya khusyuk,
“seorang pengembara muda sepantaranmu."
Sebagaimana
mendengar petuah, aku mempersiapkan telinga baik-baik untuk kisah itu. Dan
beginilah kisah itu:
Ia
selalu pergi ke mana pun ia bermimpi dan ia bertemu banyak orang. Ia selalu menanyakan satu
pertanyaan yang sama dan ia
selalu cemas saat menanyakan hal itu.
Pada
suatu siang menjelang sore, di toko
pojokan, ia
berjumpa dengan Kakek. Ia menanyakan, di mana
keberadaan mata pelengkap
penglihatannya. Kakek sedikit gusar dan balik bertanya, "Sepasang mata yang
mana?"
Ia
bercerita: semenjak
Parjo meninggal,
ia seorang diri harus
mencari sepasang mata untuk melengkapi penglihatannya. Pandangannya tak begitu jelas
melihat seisi dunia dan kerap berhenti di tengah jalan; bersandar pada tiang listrik, sebab kepalanya akan pening terbayang sepasang
mata itu.
Parjo pernah bilang, “Aku tak sendiri, dan
tugasku adalah mencari.”
Sialnya, aku telah mencoba mencari dengan susah payah, dan aku tetap berputar-putar dalam kepayahan. Dengan terlunta-lunta,
aku bertolak dari makam Parjo, hingga
sejauh ini. Namun,
tak beroleh apa pun jua.
"Lalu,” Kakek menyela, “kini kau telah menemukannya?"
"Aku
menemukannya, sekaligus
kehilangannya."
***
Aku pernah melihat bola mata yang terus membayangiku itu. Ia milik seorang perempuan. Kulihat dari
dekat, tetapi setelah kuamati lekat-lekat, tampak sedikit berbeda, dan aku mulai meragu.
Dua-tiga
hari telah lewat, namun aku semakin kepikiran oleh sepasang mata
yang agak berbeda itu. Selalu kuselipkan sepucuk
surat di antara
lipatan koran yang kuantar setiap pagi
hari. Senyumnya semakin hari semakin berbeda
saja. Dan aku semakin yakin, itulah
bola mata yang selama ini kucari.
***
Koran yang direngkuhnya terjatuh dan tercecer. Pak tua dengan sigap segera
mengumpulkannya, dan kembali
membaca. Ia menyudahi apa
yang ia ceritakan kepadaku. Lalu ia
melolos sebatang lagi kretek dari wadahnya dan menyalakannya.
Lalu-lalang kendaraan di jalan di depan rumah lumayan
sepi, sebab saat itu hari libur.
Kompeks perkampungan itu memang banyak dihuni oleh
buruh pabrik, yang pastinya amat menikmati
hari libur.
Kulolos
lagi sebatang rokok dari saku kiriku, kunyalakan,
lalu kuembuskan pelan-pelan;
melegakan dada yang
sedari tadi berdebar oleh kisah pak tua itu.
***
Kisah
cinta Bejo tak seberuntung namanya. Setelah hari ketujuh
ia mengantar surat kabar ke
rumah Laras, ia tak akan
bisa bertemu dengan kekasihnya lagi. Laras
tidak lagi meninggali rumah itu. Ia tak begitu menerima
keadaan Bejo, yang hanya
bermodal sandal
yang kebesaran dan kaus oblong yang menyedihkan.
Dan Bejo tak sempat menanyakan
perihal mata Laras yang sedari dulu dicarinya.
Bejo kembali melanjutkan pencariannya dengan hampa, dan terus mengingat surat ketujuh
yang Laras buang ke mukanya.
Ia mengembara dengan sesal setelah itu.
***
Pandangan
kami kosong usai kalimat terakhir si Kakek.
Jalanan kian sepi dan langit mulai redup.
Aku menyesal tak
sempat bercerita soal
Parjo dan Laras kepada Bejo. Tak sampai aku mengawali cerita itu, ia telah berlari mencari sepasang mata yang ia cari.
Berlari seperti kuda; berlompatan
layaknya kodok.
Ia mencari
Parjo, yang selama ini menancapkan keyakinan
di kepalanya, bahwa ia tak sendiri.
Pati,
7 Juli 2020
![]() |
Menulis cerpen dan puisi, juga membuat desain grafis. |