
Kematian Kecil Sekolah
2 Agustus 2020
Edit

Semenjak pandemi, telah
berbulan-bulan sekolahnya diliburkan dan beralih "belajar di rumah".
Daring dipilih sebagai alternatif belajar. Namun, negara ini begitu pelit (atau
miskin?); tak satu pun bantuan teknologi penunjang belajar daring diberikan.
Dzihan masih kelas dua
ketika itu, dan selama ujian kenaikan kelas, setiap orang di rumah adalah
pengingat: "Besok ujian, kau mesti bangun pagi." Tapi itu hanya
pengingat bernasib sama seperti dering alarm yang sengaja tak diacuhkan.
Esoknya ia masih molor hingga pukul sepuluh pagi. Barulah, selepas ribut-ribut
kecil, ia mulai menggarap pekerjaannya—tepatnya menuliskan jawaban yang didikte
mbakyunya. Tapi ia mendingan, masih mau menulis sendiri; tugas-tugas salah satu
temannya malah dikerjakan dan dituliskan sekaligus oleh orang lain.
Meski semasa ujian kenaikan
kelas terjadi sedikit “drama”, Dzihan tetap naik ke kelas tiga dengan mudah,
semacam beroleh giveaway—semua berkat
Covid-19.
Di kelas tiga—lewat
daring—ini, ia dijejali tugas terus-menerus oleh gurunya. Slogan guru itu
barangkali seperti ini: "Tidak diberi tugas, maka murid tidak
belajar."
Namun, belajar daring
tak semulus yang dibayangkan.
Dzihan cukup beruntung,
ada tiga ponsel pintar di rumah, jadi ia tak kesulitan beroleh info tugas-tugas
dari sekolah. Berbeda dengan murid lain yang betul-betul tak punya ponsel
pintar di rumah; tentu saja ia bakal kesulitan, ditambah solusi sang guru yang
tak membantu, "Bila tak punya ponsel pintar bisa pinjam milik teman."
Aneh betul kata-kata itu. Ia serta-merta lepas tangan, seperti pemerintah.
Di rumah Dzihan, setiap
orang ialah lulusan sekolah—minimal sekolah menengah atas. Itu keberuntungannya
yang lain dan sedikit-banyak membantunya memahami setiap apa yang ditugaskan.
Namun, bagaimana dengan murid lain, yang orangtua atau kerabatnya tak sekolah
sama sekali? Tentu saja urusannya bakal pelik.
Sementara di daerah
lain, tak jauh dari rumah saya, ada Dimas, seorang siswa sekolah menengah
pertama yang lebih tidak beruntung. Ihwal persoalannya, orangtuanya tak mampu
membeli kuota internet—mereka tentu lebih memilih membeli kebutuhan pokok
sehari-hari. Walhasil, ia mesti berangkat ke sekolah untuk belajar tatap muka,
seorang diri, tanpa teman-temannya.
Telah memiliki ponsel
beserta kuota internet, tetapi tak ada sinyal, merupakan masalah lain yang
dialami banyak murid di belahan pulau lain—sesuatu yang tampaknya tak diketahui
oleh Nadiem Makarim.
Barangkali Dzihan,
Dimas, dan banyak murid lain tak seberuntung orang-orang kaya—pastilah
masalah-masalah di atas tak dirasakan sama sekali—yang enteng saja membeli
segala penunjang belajar.
Kesenjangan di sekolah
amat nyata. Dan kekerasan simbolik—sebuah pemikiran Pierre Bourdieu—itu memang
nyata adanya. Meski demikian, sekolah telah kadung digadang-gadang menjadi
penjamin belajar manusia. Dan pada hari ini, setiap orang takut tidak sekolah.
Peliknya lagi,
orang-orang kini tidak bisa membedakan antara pendidikan, belajar, dan
pengajaran. Orang-orang menyamakan ihwal: pendidikan adalah sekolah, belajar
adalah pengajaran, dan ilmu adalah tugas-tugas tak ada habisnya.
Sekolah nyatanya
tergagap-gagap pada masa pandemi ini. Pelaku dan pemangku kebijakan pendidikan
kelimpungan.
Selain masalah di atas,
pangkalnya menurut saya adalah sekolah tak mampu menjadikan manusia sebagai
subjek belajar. Sekolah masih mendudukkan manusia sebagai objek belajar, dan
ketakmampuan berpikir mandiri adalah imbasnya.
Ketika sampai sekarang
sekolah tak mampu memerdekakan manusia menjadi subjek belajar, mestinya ia
telah ditinggalkan sejak lama. Ia seharusnya umpama barang-barang antik yang
layak dimuseumkan. Setiap orang lantas menjadikannya kenangan masa lalu yang
dapat sesekali diingat kembali dan diziarahi.
Namun, kenyataan
berbicara lain.
Sekolah hari ini masih
saja dianggap penentu belajar atau tidak belajarnya seorang manusia. Roem
Topatimasang tak berlebihan mengatakan, "Sekolah itu candu,"
seolah-olah orang-orang demikian bergantung dengan sekolah. Dengan begini
sekolah sama persis dengan nasi bagi orang Jawa: tidak makan nasi berarti tidak
makan. Sekolah menjelma dewa. Dengan adanya pandemi, semua itu terlihat seperti
gajah di pelupuk mata; jelas sekali.
Ivan Illich, pemikir
pendidikan, berpuluh tahun lalu telah menuliskan pemikirannya dalam sebuah buku
Deschooling Society—kini telah tersedia
terjemahan dalam bahasa Indonesia berjudul Bebaskan
Masyarakat dari Belenggu Sekolah. Dalam bukunya, ia ingin melucuti sekolah
dari kemapanannya. Hari-hari ini mungkin pandemi tengah membantu gagasan itu
dengan memperlihatkan kegagapan-kegagapan sekolah.
Bila sekolah telah
dilucuti dari kemapanannya, Illich menawarkan alternatif lain yang dirangkum
dalam terma “empat jaringan”: pertama, jasa referensi pada objek-objek
pendidikan; kedua, pertukaran keterampilan; ketiga, mencari teman sebaya yang
cocok; dan keempat, jasa referensi pada pendidik pada umumnya.
Penjelasan sederhana
terma itu begini: Dzihan hanya perlu bertemu dengan teman sebaya yang memiliki
minat yang sama dengannya. Misalnya, ia berkeinginan menjadi pelukis; ia cukup
bertemu dengan teman-teman yang sama-sama belajar melukis seraya saling berbagi
keterampilan. Bila dirasa perlu, ia bisa menemui orang-orang yang kemampuan
melukisnya telah masyhur. Begitu pula Dzihan, dibebaskan seluas-luasnya
mengakses referensi berkaitan dengan melukis.
Lalu, di masa pandemi
ini, Dzihan tak perlu lagi menggarap tugas-tugas "aneh" itu dan
memaksa diri membeli perangkat teknologi (sebuah paksaan dari sekolah) yang tak
mampu dibeli—Satu contoh kekerasan simbolik disebabkan oleh sekolah. Ia bisa
belajar di mana, kapan, dan dengan siapa saja, tak harus lewat
"sekolah".
Akhirnya belajar
menjadi kata umum yang bisa dirasakan seluruh manusia, sebab tak lagi dimonopoli
sekolah. Begitu pula tak bakal lagi ada kesenjangan ekonomi dan kekerasan
simbolik yang disebabkan oleh sekolah.
Dengan demikian,
sekolah lebih baik dibubarkan saja. Dan bubarnya sekolah semestinya hanya
menjadi kematian kecil yang tak perlu ditangisi sepanjang masa. []
Rembang, 24 Juli 2020
![]() |
Membaca dengan riang. Menulis dengan gembira. Sila mampir ke rumahnya di raungruangriang.blogspot.com. |