
Lelaki Mati Sebelum Bahagia
17 Agustus 2020
Edit
Sebelum kematiannya,
di dapur Sarine tengah merebus
mi instan untuk makan siangnya; tentu
tak lupa bubuhan irisan cabai, sawi, dan kol. Sementara menunggu mi untuknya matang,
lelaki itu hanya duduk memandang jajaran buku di rak gantung; memandang pantulan
wajahnya di kaca hitam jendela.
Di situ hanya ia lihat putih
giginya; hanya ia lihat putih
matanya, dengan samar-samar.
Lalu punggung
buku-buku itu memunculkan ingatan masa
lalu di setiap sisi kepalanya, tentang
saat-saat menjelajah dengan mobil
Gaz 51 di jalan berdebu;
melindas ayam dengan ban mobil baru; atau
melintasi hutan dengan bus bersama
ayah yang berkisah tentang kenangan
lama: Di bawah rerimbun pinus dulu ayah bercinta, dengan tetangga.
Memang
cerita-cerita selalu
memiliki bagian yang rumpang. Lelaki itu tak
menemukan kebahagian di punggung buku atau
warna sampul, cerita masa lalu, basah hujan, atau keluarga bahagia dengan
anak-anak tolol mereka.
Tak ada yang bisa membantu menemukan sosok kecilnya: ia yang berdiri
tersenyum di sebuah foto keluarga.
Sebelum
kematiannya, Sarine menghidangkan mi rebus yang ia buat untuk lelaki itu; tak
lupa dengan irisan cabai, sawi, dan kol.
Lelaki
itu hanya duduk, menoleh ke kanan-kiri. Di kaca hitam tulang pipiya tampak samar-samar.
Sepintas, matanya terlihat putih penuh. Lalu pandangnya jatuh pada punggung buku-buku
itu. Pada buku Bus dan Ikan Julung-Julung romannya dibuat terkesiap. Buku itu telah mengungkit masa lalunya
ketika menjadi kutu buku: membaca buku puisi dan tertabrak mobil di tikungan
jalan hingga kepala pecah, dada nyeri, dan ingatannya seketika buram.
“Ini,”
kata Sarine sembari menyodorkan botol saus yang segera ia susulkan selepas mi
instan terhidang, “barangkali kau perlu. Walaupun itu sudah pedas, dengan lima
cabai,” ucapnya gemetar.
Lalu
mata Sarine melirik ke arah foto hitam-putih di dinding, di barisan pajangan
foto pelanggan top yang pernah datang. Samar-samar ia melihat lelaki itu;
samar-samar ia tahu memang lelaki itu sesaat sebelum kematiannya pernah memesan
mi instan kepadanya. Ialah seseorang yang tertabrak mobil di tikungan jalan.
“Ah
ya, lama sekali aku tak makan. Saat sebelum mati pun aku belum makan sama sekali;
ah ya, kecuali mi instan. Kupikir akan lebih bahagia jika bisa makan mi instan
sekali lagi,” oceh lelaki itu. “Tapi di kubur sukar cari warung makan, apalagi merebus
mi sendiri.”
Samar-samar,
Sarine berucap: Andai saja kau rajin salat, mungkin Tuhan akan menolongmu. Lelaki
korban tabrak lari itu melanjutkan makan mi dengan lahap. Ia santap keriting mi
berselang-seling seruputan kuah, suapan mi lagi, seruputan kuah lagi, seolah melewati
tahun-tahun panjang tanpa makanan. Hingga akhirnya ia berhenti, menyadari meja
makan tempat ia bersantap ria bertebaran percikan kuah kuning; tercecer, di
tepi piring, di tepi meja.
Samar-samar
terngiang bercak darah di ingatannya, tergenang di kepala lelaki kurang bahagia
itu; tentang sirine ambulans dan kerumunan orang yang susul-menyusul, tampak samar-samar
merembesi ingatannya.
Sarine
mendekat. Ada tisu yang ia sodorkan dengan gemetar tangan. Piring-garpu ia
kemas. Ia jauhkan itu dengan tanda tanya yang samar-samar.
Lelaki
pemakan mi merasakan pening di kepala. Ia pijat-pijat pelipisnya, seolah ada
yang ia padatkan, ia jejalkan masuk lagi, dan tak ia biarkan pergi; seperti hari
kelam, di mana taman-taman bunga berangin, jalan-jalan dingin, saat ia membaca Bus
dan Ikan Julung-Julung.
Sarine
masih bertanya-tanya. Wajah lelaki itu masih samar-samar di memorinya. “Dia?
Apa ya? apa bukan? Lelaki pemakan mi dan peminjam buku Bus dan Ikan Julung-Julung
tempo hari.” Sarine hanya berpikir sederhana soal kematian: lubang hitam yang
tak akan membuat orang kembali lagi ke dunia.
Namun,
lelaki itu betul-betul seseorang yang pernah memesan mi instan, meminjam buku
di warungnya lantas membacanya dengan antusias, lalu mati seperti bangkai
binatang di sebuah tikungan jalan. Sarine mencubit pipinya, terasa sakit, tetapi
ia belum puas; ia cubit lagi lengannya, rasanya sama, tetapi ia tak cukup
yakin.
Sarine
memberanikan diri bertanya ke lelaki itu. Dengan gugup ia bertanya: Apakah kau
yang mati kemarin? Bersama buku Bus dan Ikan Julung-Julung yang kau genggam?
“Ya,”
kata lelaki itu samar-samar oleh sebab lubang bekas luka di pipinya. “Kemarin
aku sempat meminjam buku itu, tapi belum
sempat kukembalikan.”
“Tak
apa. Saat kau mati, kupungut buku itu dalam keadaan utuh. Untung kematianmu tak
sampai merusak buku itu.”
“Baguslah.
Bagaimana kematianku?”
“Kau
terkapar seperti bangkai hewan buruan. Tapi aku cukup penasaran, kenapa kau
kembali lagi ke dunia ini?”
“Rasa-rasanya
aku mati dalam keadaan kurang bahagia, jadi aku kembali.”
“Apa
yang membuatmu bahagia?”
“Mi
rebus masakan Ibu.”
“Sekarang
kau bahagia?”
Lelaki
itu mengangguk, dan seketika itu pula ia kembali mati, di tempat duduk, di meja
tempat ia makan mi instan itu. Sarine berdiri di depan kompornya dengan haru,
menyaksikan kejadian itu. []
![]() |
Pengrajin puisi, prosa, juga esai. Buku puisi debutnya: Sepotong Ikan Kerinduan Ibu (Pustaka Bacabukumu, 2020). Pengelola azizafifi.wordpress.com. |