
Membaca itu Biasa-Biasa Saja
19 Agustus 2020
Edit
Bagi saya, membaca adalah
aktivitas yang biasa-biasa saja. Tafsir yang beredar tentangnya yang kerap kali terdengar
luar biasa. Membaca dapat menambah wawasan,
membaca itu bercermin untuk mengenali diri,
membaca itu berpetualang menyusuri gagasan-gagasan besar. Ada banyak tafsir
soal membaca, yang biasanya akan dinyatakan ketika merayakan aktivitas membaca,
atau ketika berdakwah mengajak orang-orang untuk membaca. Padahal, ada kalanya membaca
itu sesederhana membaca;
seseorang berhadap-hadapan langsung dengan teks, berusaha menangkap makna-makna
yang mungkin muncul darinya. Sesederhana dan serumit itu.
Tafsir-tafsir soal apa itu
membaca mungkin sepanjang sejarah peradaban manusia. Sebelum buku diciptakan,
orang-orang membaca gerak awan, untuk mencoba menerka cuaca; orang membaca
bintang, sebagai upaya menentukan arah; orang membaca mata liyan, ingin
mengenali siapa yang sedang ia hadapi. Membaca, pada dasarnya, hanyalah perkara
praktis dalam keseharian.
Lalu terciptalah buku. Dan
muncullah tafsir atau pembacaan bahwa membaca buku itu penting. Tapi, penting
bagi siapa? Mengapa ia penting? Lalu datanglah modernisme. Dan hadirlah
pandangan bahwa membaca itu keren, sesuatu yang seksi. Membaca seolah-olah
menjanjikan gerbang ke dalam struktur sosial tertentu, orang yang membaca jadi
bagian dari mereka yang dianggap pintar, dianggap mengerti, dianggap beradab.
Bahkan, seseorang bernama
Tim Parks menulis buku tentang membaca, judulnya The Novel: A Survival Skill. Dari judulnya, dapat terbaca
seolah-olah membaca novel akan meningkatkan kemampuan manusia dalam bertahan
hidup. Atau, ada lagi manusia bernama Thomas C. Forster, ia membayangkan
dirinya dapat memandu para pembaca sastra, dengan menulis buku berjudul How To Read Literature Like A Professor.
Di sini, saya tidak ingin mengulas buku-buku tersebut. Dan peganglah kata-kata
bijak yang ilahiah itu, jangan baca buku dari judulnya. Bijaknya, jika memang
ingin tahu, sila cari bukunya, dan dibaca sendiri. Saya akan senang hati diajak
berbincang tentang kedua buku itu.
Pengalaman membaca, bagi
saya, selalu menjadi pengalaman yang personal.
Saya lupa kapan dan di mana
saya membaca analogi tentang membaca ini. Tapi saya suka dengan pengandaiannya.
Buku-buku itu bunga, dan pembaca itu kupu-kupu. Hanya kupu-kupu yang
menghinggapi bunga yang akan mendapati kakinya dipenuhi putik dan benang sari.
Dan kupu-kupu tak tahu seberapa banyak atau sedikit putik dan benang sari yang
nantinya menempel di kakinya setelah ia hinggap di sekumtum bunga.
Analogi di atas boleh jadi
terkesan klise bagi beberapa orang, dan tidak sepenuhnya pas. Misal, membaca
buku untuk mencari referensi karya tulis tentu saja tidak bisa bergantung pada
kebetulan seperti putik dan benang sari yang menempel di kaki kupu-kupu.
Seseorang yang membaca sebagai seorang akademisi mestinya membuat metode
membacanya sendiri untuk dapat mengumpulkan putik dan benang sari yang ia
harapkan. Misal, setelah membaca ia mencatatkan tafsirannya atas bacaan itu. Ia
tak pernah tahu kapan ia akan lupa dengan apa yang baru saja dia baca.
Atau, misal lain, seseorang
yang membaca untuk mencari pembenaran atas yang ia yakini sebelumnya. Ketika ia
masuk ke dalam buku, dan mendapati yang menempel padanya adanya adalah hal-hal
yang tidak ia harapkan. Kerap kali
ia akan mengembangkan metode membaca tersendiri untuk membersihkan kakinya dari
putik dan benang sari yang tidak ia inginkan. Ia, barangkali, akan menuliskan
sebuah catatan berisi kritikan atau sanggahan, yang pasti untuk mempertanyakan
keabsahan hal-hal yang baru saja ia baca.
Apapun itu, membaca akan
menjadi suatu pengalaman personal dan praktikal. Orang membaca apa yang ingin
ia baca. Dan tiap orang akan merespons
bacaannya dengan caranya masing-masing. Bahkan ketika orang-orang itu membaca
sebuah buku yang sama. Justru karena tiap orang akan menciptakan pembacaan
tersendiri atas sebuah buku, relasi antarpembaca selalu jadi hal yang
menyenangkan untuk dilakukan. Bertemu dengan orang yang memilih bacaan yang
sama adalah kenikmatan tersendiri. Berinteraksi dengan pembaca lain, seorang
pembaca akan mendapati dirinya mungkin menemukan lawan debat, teman diskusi,
atau kawan sepemikiran.
Saya tidak percaya pada
keabsolutan teks, bahwa suatu teks punya cara tersendiri untuk dibaca, punya
makna tertentu yang sedang diusung. Teks tak ubahnya sebuah sabana yang asing
untuk ditualangi, dan tiap pembaca akan menjadi si petualang untuk dirinya
sendiri. Bahkan dalam pembacaan ulang. Ketika seorang pembaca membaca sebuah
buku yang sama kedua kalinya, ia akan mendapati dirinya mengalami pembacaan
yang berbeda dari sebelumnya. Di sini, ia boleh dibilang sedang bertemu dengan
pembaca lain. Dirinya yang dulu bertemu dirinya yang sekarang di hadapan teks
yang sama. Ingatannya tentang apa yang dia rasakan ketika membacanya untuk
pertama kali dan kesan-kesan yang dia tangkap ketika membaca ulang akan jadi
semacam perbincangan di dalam kepalanya.
Apabila hal pertama yang
diajarkan membaca ialah bagaimana menjadi sendirian, berbagi cerita tentang
bacaan adalah ruang istirahat
dari kesendirian itu. Tentu saja, hal ini dapat dibaca sebagai tafsir atas
membaca yang sedang saya usung, yang masih sangat mungkin ditafsirkan ulang,
entah itu didukung atau disanggah atau dilengkapi atau dinafikan. Dan tentu
saja, hal itu tak akan menjadi soal.
Tak ada yang agung perihal
membaca. Aktivitas membaca buku itu setara dengan aktivitas keseharian lainnya.
Jikapun pada akhirnya para pembaca berkumpul untuk merayakan aktivitas membaca,
itu sama halnya dengan para kolektor perangko yang berkumpul, atau para
pengendara Vespa yang berkumpul. Di antara mereka, pastinya akan muncul
obrolan-obrolan yang mereka anggap sebagai keseruan. Dan seiring berjalannya
waktu, barangkali akan muncul tafsir-tafsir yang terkesan luar biasa tentang
mengoleksi perangko atau mengendarai Vespa, yang barangkali melampaui aktivitas
mengoleksi perangko atau mengendarai Vespa itu sendiri. Dan membuat mereka lupa
untuk terus mengoleksi dan berkendara.
Catatan:
Tulisan
sebagai pemantik acara Diskusi RBA #1
yang diadakan Ruang Baca Abdussalam, 18
Agustus 2020.
![]() |
Penulis dan penerjemah lepas; tinggal di Cepu. |