
Sejarah Singkat Saya dan Buku
10 Agustus 2020
Edit
Barangkali ketika sekolah
dasar, bagi saya: buku adalah monster mengerikan dan membaca adalah aktivitas menjemukan.
Sejak kecil saya tak pernah menemukan kesenangan dari buku. Buku hanya berisikan
ketikan kecil-kecil—dan isinya itu-itu saja. Waktu itu saya hanya mengenal dua
jenis buku: buku paket milik pemerintah dan buku lembar kerja siswa (LKS) yang
kertasnya buram dan membikin mata sepet. Buku-buku itu tak ada yang menarik,
tak banyak gambar, teksnya membosankan, dan penuh oleh soal-soal yang membikin
enek seisi perut. Bazar buku semasa sekolah dasar juga melulu menawarkan buku-buku mungil Tuntunan Sholat Lengkap, Do'a Sehari-hari, atau Kamus Lengkap.
Pada usia yang
menginjak kepala dua, ketika tengah mengunjungi salah satu toko buku bergengsi
di kota, saya baru menyadari adanya buku anak yang menyenangkan selain buku
gambar dan buku mewarnai. Mereka adalah buku dongeng, ensiklopedia, serta
majalah—tentu saja harganya tak semurah buku-buku di bazar buku sekolah dasar.
Tata bahasa di sana telah diatur dan disesuaikan dengan tingkat kemampuan
berbahasa anak. Tempat tinggal yang jauh dari perkotaan barangkali menjadi sebab
absennya buku anak yang menyenangkan pada masa kecil saya. Biarpun ada, tak
semua orang tua mau dan mampu membelinya. Mungkin menurutnya, sekolah dan
buku-buku sekolah sudah sangat cukup untuk anak-anak mereka.
Jika diingat-ingat
kembali, ketertarikan terhadap buku dimulai ketika saya berada di pesantren dan
sekolah menengah pertama sebagai usaha untuk menghibur diri dari kejenuhan. Saat
itu saya pernah membeli sejumlah novel, meski tahu di sana dilarang menyimpan,
membawa, serta membaca novel. Barangkali saat itu novel dianggap barang haram,
yang apabila ditemukan di lemari santri, wajib dimusnahkan. Saya jadi ekstra
hati-hati dan mesti pintar-pintar menyembunyikan novel. Sebab jika tidak, pastilah
kena razia seksi keamanan pesantren atau guru bimbingan konseling (BK) di
sekolah. Sialnya, saya tak benar-benar pintar menyembunyikan 'barang terlarang'
itu. Saat tengah asyik membaca di bangku depan kelas, saya tak menyadari guru
BK sedang lewat dan mengintai saya. Ia lalu menarik novel dari tangan saya—tanpa
pernah mengembalikannya. Selepas itu, predikat saya sebagai 'siswa baik' mesti beroleh
catatan kuning dan masuk kantor BK hanya karena membaca novel. Sampai kini,
saya masih tak mengerti alasan dilarang membawa buku selain buku pelajaran.
Saya pikir, novel juga bagian dari pelajaran bahasa, bukan?
Usai kejadian itu, saya
tak lagi membaca buku dengan keyakinan tak ingin zalim dan tidak takzim dengan
peraturan. Tak ada yang menyenangkan lagi dari buku-buku. Hanya ada buku
pelajaran yang menjelma bantal dan selalu merayu setiap lewat jam dua belas
siang. Buku menjadi jauh lebih membosankan ketimbang semasa sekolah dasar.
Sebab, kini buku hanya berisi rumus-rumus untuk meracik obat. Selebihnya berupa
kamus-kamus farmakope atau informasi
spesialite obat (ISO). Saya tak mengenal buku lain selain buku-buku itu; kecuali
saat kelas sebelas, atas rekomendasi teman, saya sempat mengunduh aplikasi
Wattpad dan membaca cerita-cerita di sana. Sebab merasa lama-lama otak menjadi keracunan
novel-novel 'hijrah' atau penantian jodoh, akhirnya saya memutuskan untuk mencopot
aplikasi itu.
Barulah setelah masuk kuliah
saya berjumpa Cantik itu Luka, Dunia Kali, Orang-Orang Oetimu, Cinta
yang Berpikir, Aleppo, dan
lainnya. Saya bisa membaca sesuka hati tanpa perlu risau bakal ada razia atau penyitaan.
Lebih dari itu, saya seolah dibuat terkesima oleh kisah dan cara bertutur yang amat
berbeda dengan buku-buku yang selama ini saya tahu. Sejak halaman pertama hingga
terakhir saya tak menemui kebosanan. Setiap kalimat seolah-olah memiliki nyawa
untuk mengajak pembacanya berpikir, tak seperti buku pelajaran sekolah yang dijejali
soal-soal.
Jika sedari kecil saya dapat
menemukan dan diperbolehkan membaca buku-buku seperti itu tadi, pastilah menyenangkan. Sayang sekali
privilese terhadap buku-buku seperti yang diperoleh Abinaya Ghina Jamela—penulis
cilik yang ketika sekolah dasar telah banyak melahap buku; termasuk buku
'serius'—tak dapat saya miliki. Oleh sebab peminatan studi saya ialah menjadi
guru madrasah ibtidaiah, barangkali ketidaktuntasan masa kecil terhadap buku
menjadikan saya mulai membaca buku anak dan buku untuk anak, kini dan nanti. []
![]() |
Penikmat bacaan kanak-kanak. |