
Tempat Terbaik di Semarang
23 Agustus 2020
Edit
Ketika bosan sekonyong-konyong datang
lewat jalan tak tentu
sewaktu membuka mata saat
siang hari dalam
pengap kamar indekos serta dibarengi
ketidaktahuan akan sesuatu
yang mesti diperbuat atau barangkali memang sedang tak ingin
berbuat apa-apa, aku akan menimbang-nimbang
dan mengingat-ingat sisa uang di dompet;
bila cuma sepuluh ribu, aku akan
tetap berdiam diri, namun
ketika lebih dari itu, aku akan pergi ke suatu tempat.
Atau ketika
dompet penuh oleh uang—barusan memperoleh
kiriman,
misalnya, sedang berharap
suatu penghiburan, sedang ingin bersenang-senang
tapi seorang diri saja, aku akan
pergi ke suatu tempat.
Atau ketika
dunia seolah-olah tengah mengejek,
menyumpah-serapahi, mengutuk, mengalahkanku, dan tidur tak mampu melawannya, aku
akan mencari tempat pelarian:
suatu tempat yang tak perlu biaya banyak tetapi
menyembuhkan banyak.
Atau ketika rindu memenuhi kalbu, menuntut jumpa tapi tak keturutan, aku akan memilih
pergi ke suatu tempat.
Perlu
uang tujuh ribu untuk pulang-pergi—sebetulmya bisa dengan dua ribu saja, tapi saat itu kepraktisan sedang tak bisa ditebus dengan
selembar kartu pelajar. Dengan menaiki bus Trans
Semarang, aku akan
dibawanya ke suatu tempat itu.
Biasanya, menit-menit
kosong akan berakhir
seperti ini: menunggu bus di halte, baik sendiri maupun bersama orang asing yang tak
saling bicara. Kala bus tampak di ujung
jalan: berwarna
merah atau biru;
aku mulai berdiri mendekat pintu, menunggu kondektur mempersilakan—jika ada
penumpang yang hendak turun,
aku menungguinya;
selepas itu aku akan
melangkah masuk bus.
Berdiri semisal sesak atau duduk
sewaktu longgar, tak masalah bagiku. Ketika
mesti berdiri berdesakan, aku
akan memilih melakukannya
di dekat kaca jendela. Sebab di dekat kaca jendela, aku bisa melihat jalanan,
motor, mobil,
dan lalu-lalang benda-benda lain.
Atau sesekali aku akan mengedarkan mata ke seluruh penumpang bus: orang tua, pelajar,
ibu-ibu, gadis-gadis,
dan orang lain lagi.
Sementara bila
longgar, aku akan duduk di deretan kanan
atau kiri, lalu menyerong menghadap kaca depan
bus, melihat kota Semarang bekerja,
atau sesekali berpaling ke arah pintu masuk,
melihat penumpang hilir-mudik dari berbagai
halte.
Kadang kala ada seseorang bertanya
suatu tempat—sebenarnya dalam keadaan
demikian aku malas mengobrol, maka aku timpali seperlunya. Kadang aku bisa saja memulai obrolan—ini amat jarang kulakukan. Aku
lebih memilih berdiam diri seraya mengamati jalanan,
bangunan-bangunan, penumpang-penumpang,
atau sesekali menguping pembicaraan
supir dan kondektur.
Aku menikmati
setiap perjalanan dengan bus ke suatu tempat itu, sebab kepalaku pelan-pelan
melepaskan diri dari beban dan darah di tubuhku seolah dicuci dan berganti dengan darah baru.
Dan suatu tempat
itu bukan Kota Lama peninggalan Belanda yang sering dielu-elukan itu, melainkan
perpustakaan daerah (Perpusda) dan
kios-kios buku di belakang stadion Diponegoro.
Demi ke situlah
perjalanan ini sering kulakukan.
Sering kali ketika masih di
indekos, aku belum memutuskan hendak
ke mana. Sewaktu di bus aku mulai membuat keputusan. Alasan kadang datang
dengan tiba-tiba, misalnya ketika ada penumpang yang ingin aku ikuti: aku akan
berdiam diri di bus itu (aku memberi batasnya sendiri: batas paling jauh adalah
stadion), bila ia singgah ke lain
halte aku akan mengikutinya—selama masih
sejalur dengan Perpusda
atau stadion Diponegoro.
Bila masih tetap di bus, aku akan mengikutinya, hingga batas akhir di halte
dekat stadion.
Di
Balik
Stadion
Diponegoro
Turun di halte
terdekat, aku lanjutkan dengan jalan kaki, menerobos keriuhan mobil, motor,
orang-orang di trotoar jalan, penjaja penganan,
dan terkadang murid sekolahan.
Sekali waktu,
aku akan memperlambat langkah kaki, berhenti
untuk
memandangi gedung-gedung
pemerintah, hotel,
dan bangunan-bangunan tinggi lainnya. Di jalanan ini, suasananya sedikit adem:
masih ada pohon-pohon di kanan-kiri jalan.
Bila ingin, aku
akan membaca koran dinding di pertigaan, mencari sesuatu atau sekadar melihat
orang-orang membaca. Namun,
aku akan malas berhenti bila tak ada orang lain sama sekali.
Kakiku
terus berayun.
Bau sampah
seperti pengawal kerajaan yang menyambut kedatangan tamu, dan ini berarti sudah
dekat dengan kios-kios
buku yang berderet sepanjang jalan;
satu-dua diselingi kios bengkel
motor. "Benar, ini tempatnya,"
gumamku biasanya, karena aku gampang sekali tersesat dan lupa jalan. Sekali
waktu pernah tak menemukan
tempat ini, aku putar balik.
Setelah tempat pembuangan sampah, langkah kelima
akan membawa kita ke
toko buku pertama;
aku akan mendekat dan melihat-lihat.
Mulanya,
aku risih dengan pertanyaan, "Cari buku apa?" tapi waktu demi waktu kunjungan, aku mulai
terbiasa dengan pertanyaan itu. Sesekali aku menjawab dengan judul buku yang aku tahu tak ada di kios-kios itu. Sesekali aku juga
beranikan diri bertanya harga-harga buku yang telah dipajang; setelah dijawab, aku mengangguk seolah memikirkannya tetapi kemudian
bilang, "Terima kasih. Maaf
tidak jadi,
mungkin lain kali." Semua itu kulakukan demi melipur rasa bersalahku sebab
tak jadi membeli buku. Pikirku,
mereka bakal sedikit senang beroleh pertanyaan dan jawaban seorang pembeli, meski
ia tak membeli.
Ada beragam buku
yang dijual, dari bahan ajar sekolah dasar hingga kuliah, dari buku soal ujian nasional hingga tes CPNS, dari
memasak hingga memancing, dari buku fiksi hingga nonfiksi, dari buku baru
hingga lawas, dari buku original hingga bajakan. Di akhir-akhir kunjungan, aku sedikit risau dengan buku-buku
bajakan. Entah sebab apa,
tapi sebetulnya kuakui, dari buku bajakan
itulah aku mulai mengenal lebih banyak penulis, mulai Pramoedya Ananta Toer hingga
Tere Liye.
Tak puas hanya
melihat-lihat dari luar, kadang aku mohon
izin untuk masuk ke dalam
toko, mengubek-ubek tumpukan-tumpukan buku, yang baru datang maupun yang
sepertinya mampat
saja di toko itu bertahun-tahun. Aku bakal melihat-lihat semua koleksi buku
yang ada di setiap toko.
Aku akan menjelajah dari ujung ke
ujung. Meski
tak memperoleh buku, setidaknya aku
melihat buku-buku lawas dan
mengobrol dengan penjual
buku. Ini semacam penyembuh paling ampuh selama aku di Semarang.
Matahari mulai
tenggelam dan toko-toko sudah tuntas kujelajahi. Lalu
aku akan menghabiskan waktu tersisa di warung pinggir
jalan di sana: memesan nasi rames,
gorengan, es teh,
dan sebatang kretek. Pada sebatang kretek yang kusulut dan
kuhisap pelan-pelan, aku akan mengembuskannya seraya bergumam lirih, "Betapa nikmat hidup ini."
Di
Perpustakaan Daerah
Aku benci
perpustakaan kampus yang disakralkan selayaknya agama: harus begini-harus begitu, dilarang
begini-dilarang begitu. Dan Perpusda
tidak begitu.
Aku akan turun
di halte, menyeberangi
jalan, menyambut sambutan gerbang, memandang apa saja yang baru dipampang—sering kali pengumuman
pementasan. Berjalan pelan dan mencari-cari penjual mi ayam—yang selalu
kujanjikan dalam diri sendiri bakal mampir untuk
makan siang, tapi tak pernah kesampaian. Bila tak kutemukan,
aku akan membuat keputusan lain: makan di kantin pojok belakang gedung Perpusda. Namun bila kutemukan penjual
mi ayam, aku sering
meragu; sejak pagi belum
sarapan, apa perutku tak
akan melilit bila makan mi ayam? tanyaku pada diri
sendiri—inilah sebab tak pernah sama sekali kucicip mi ayam itu.
Di gedung Perpusda aku disambut
alat pendeteksi yang entah berfungsi atau tidak, selalu membuatku gelisah, seolah-seolah aku mencuri buku di
sana. Tak seperti di perpustakaan kampus—aku akan sangat gembira bila berhasil
mencuri buku, di Perpusda
aku tak ingin mencuri buku. Sebabnya mungkin karena aku nyaman dan kerasan,
dilayani dengan sangat baik, dan
aku tak pernah adu mulut dengan pegawai.
Selain
kenyamanan, buku yang disediakan banyak, dan lumayan tertata, meski tak
berurutan. Dulu, ruangan fiksi dan sejarah disendirikan, tapi kini ruangan itu telah menyatu dengan ruang buku lainnya. Dulu aku akan memilih
duduk di ruangan fiksi dan sejarah, tapi setelah berubah, aku duduk tak
menentu, kadang di dekat rak fiksi
dan sejarah dan kadang di dekat rak
jenis buku lain.
Ketika bosan,
aku hanya akan mengambil banyak buku, menumpuknya, lalu membacanya sekilas hingga
empat jam kuhabiskan. Setelahnya, aku akan pergi ke kantin dan makan siang. Di
pukul tiga sore, aku sudah berdiri di
halte menanti bus untuk kembali ke
indekos.
***
Setiap dari kita
punya tempat yang sering dikunjungi ketika senang, bersedih, atau ketika merasa
benar-benar ingin sendiri.
Sewaktu menulis ini, aku merasakan itu dan aku sedang merindukan suatu tempat itu, tempat
terbaik di Semarang yang sering kukunjungi.
[]
Rembang,
11 Agustus 2020
![]() |
Membaca dengan riang. Menulis dengan gembira. |