
Jose Eduardo Agualusa — Antara Hidup dan Buku-Buku
6 September 2020
Edit
Sebagai seorang bocah,
sebelum betul-betul belajar membaca, senantiasa kuhabiskan sepanjang hari di
perpustakaan rumah, duduk di lantai, membolak-balik ensiklopedia besar yang
penuh gambar, tatkala ayahku menyusun bait-bait sukar yang setelahnya—amat
pantas—ia musnahkan. Lalu, ketika bersekolah, aku akan sembunyi di perpustakaan
untuk menghindari bermain permainan-permainan kelewat kasar yang mana para
bocah lelaki sebayaku biasa mainkan. Aku seorang bocah laki-laki pemalu, kurus,
sasaran empuk bagi bocah lain mencela. Aku tumbuh—sedikit lebih tumbuh dari
yang lain, sebetulnya—tubuhku terbentuk, namun aku tetap menarik diri, enggan
berjelajah. Bertahun-tahun lamanya, aku bekerja sebagai pustakawan, dan
kurasakan bahagia pada saat-saat itu. Aku telah bahagia, bahkan saat ini, sejak
berada di tubuh kecil yang kukutuk, seolah melintasi romansa picisan atau
membuntuti kebahagiaan orang lain dari jauh. Kisah-kisah cinta bahagia itu aneh
di dalam sastra yang masyhur. Dan ya, masih kubaca buku-buku Felix yang
ditinggalkannya terbuka, terlupa di atas meja tidur. Atas beberapa alasan—aku
tak yakin mengapa—aku rindu Kisah Seribu
Satu Malam, versi Inggris terjemahan Richard Burton. Aku pasti berumur
delapan atau sembilan saat membacanya untuk pertama kali, sembunyi-sembunyi
dari ayahku, setelah karya itu dianggap cabul. Aku tak bisa kembali pada Kisah Seribu Satu Malam, namun untuk menggantinya
aku menemukan penulis-penulis baru. Aku menyukai Coetzee si penulis Boer, misalnya,
atas ketepatan dan kekerasannya, keputusasaan yang sama sekali bebas dari
kepuasan diri. Aku terkejut mendapati orang-orang Swedia itu mengenal
sedemikian karya bagus.
Aku ingat sepetak
halaman sempit, sumur, dan seekor kura-kura yang tidur di lumpur. Dulu
hiruk-pikuk orang berjalan di sisi lain pagar. Aku masih ingat rumah-rumah itu,
teratur rendah dalam cahaya senja berpasir. Ibu selalu di sisiku—seorang
perempuan yang rentan dan galak—mengajariku supaya takut pada dunia dan bahayanya
yang ananta.
“Kenyataan itu
menyakitkan dan cacat,” ucapnya. “Begitulah adanya, begitulah cara kita memisahkannya
dari mimpi-mimpi. Ketika sesuatu terlihat sepenuhnya indah, kita berpikir itu
hanya sebuah mimpi, dan kita mencubit diri sendiri agar yakin kita memang tidak
sedang bermimpi—terasa sakit sebab kita tidak sedang bermimpi. Kenyataan mampu
melukai kita, bahkan pada momen-momen ketika itu seperti mimpi. Kau bisa
menemukan segala-yang-ada di dalam dunia buku-buku—sesekali dalam warna paling
sejati, dan tanpa rasa sakit sungguhan akan segala yang benar-benar ada. Jika
diberi pilihan antara hidup dan buku-buku, putraku, kau harus memilih buku!”
Ibuku! Mulai sekarang,
cukup kupanggil Ibu.
Bayangkan seorang
lelaki muda membalap dengan motornya, di atas seruas jalan kecil. Angin sedang
menerpa wajahnya. Lelaki muda itu memejamkan mata, dan merentangkan tangan lebar-lebar,
seperti yang dilakukan di film-film, merasakan dirinya sendiri hidup seutuhnya dalam
persekutuan dengan semesta. Ia tak melihat lori melintas keluar dari
persimpangan. Ia mati bahagia. Kebahagiaan hampir selalu tak bertanggungjawab. Kita
bahagia untuk saat-saat singkat tatkala memejamkan mata. []
Catatan:
Ini merupakan salah
satu bab dalam The Book of Chameleons karya Jose Eduardo Agualusa,
penulis Angola. Bab berjudul bahasa Inggris Between Life and Books ini,
dan seluruh isi buku, diterjemahkan oleh Daniel Hahn dari bahasa Portugis. Buku
ini diterbitkan oleh Arcadia Books, London. Penerjemahan dari bahasa Inggris
dilakukan oleh Achmad Agung Prayoga.
![]() |
Penulis dan penerjemah prosa. Pengampu biskuatsusu.wordpress.com. |