
Bujuk Rayu Satu ke Bujuk Rayu Lain
13 September 2020
Edit
“Datang saja
ke warung seblak Kang Karim,” katanya ketika memberi arah mesti ke mana kepada
saya. Sebelum
Selasa
(4/8), saya telah jauh-jauh
membuat janji dengannya. Saya
ingin mengobrol dengan pribadi Abdul Karim sekaligus
komunitas bacanya di Rembang.
Ia sendiri bermukim di Desa Warugunung, sebelah timur kota tua Lasem; desa yang tersembunyi
di balik tembok
menjulang rumah
Cina tempo
dulu; wilayah dengan jarak tempuh
15 hingga 30
menit dari pusat kota Rembang.
Saya tiba
pada pukul setengah sebelas, saat terik matahari cukup membuat nyeri di kepala. Dan Kang Karim tahu
betul saya tengah kepanasan, segera segelas es teh terjamu di
muka. Bermula es
teh, lalu cerita Gerobak Baca
yang ia rintis tiga bulan belakangan dimulai.
Ia bangga menyebutnya
Gebekaka—yang sekaligus
menjadi nama akun Instragram khusus
untuknya; perpustakan cilik
yang ia kemas dalam gerobak jualan; berimpit dan berbagi tempat dengan
gerobak seblak. “Awalnya
pengin bikin [perpustakaan] besar, bahkan sudah usul ke karang taruna, tapi tanahnya tidak ada,” terang Kang Karim pada
saya. “Ya jadinya pakai gerobak saya yang enggak dipakai berjualan.”
Memang Lasem
tak lagi punya lahan lebar lagi luas, layaknya kebanyakan rumah lain di wilayah Rembang
pada umumnya. Hanya ada rumah-rumah tua yang berdempetan beserta pekarangan
sempit. Ia seperti kota besar lainnya di Indonesia.
Lahan-lahan luas hanya
milik mereka para saudagar, itu pun
peninggalan nenek moyang dari berabad silam.
Salah satunya rumah dengan tembok-tembok menjulang dan memanjang milik para kelompok etnis Tionghoa yang sudah mendiami
wilayah itu
sejak zaman Majapahit. Mereka datang untuk berniaga, menyelundupkan candu serta
senjata perang melalui sungai
Bagan. Untuk kepentingan itu pula,
dibangun terowongan bawah tanah ke
arah sungai.
Kejayaan keturunan
tionghoa di Lasem pada puncaknya terjadi saat seorang putra keturunan Tionghoa mampu menjadi
adipati Lasem. Oei Ing Kiat namanya;
saudagar
kaya yang memperoleh tahta
ketika seorang pangeran pewaris Lasem lebih memilih menjadi petani tulen pada tahun
1727.
Pada periode kolonial Lasem, sejarah
yang tak kalah penting ialah tercatatnya sebagai kota perlawanan
terhadap Belanda,
yang berkobar
diungguni kesewenang-wenangan
Belanda dalam mengatur izin
tinggal sampai menghentikan kedatangan
mereka dari Cina. Dan akhirnya tercetuslah perang Kuning.
Namun perlawanan tersebut
akhirnya berbuntut panjang pada sejarah kota Lasem nantinya. Mengubur Lasem menjadi hanya peradaban rumah
tua, penuh lumut,
dan usang. Sebab atas kekalahan perlawanan Lasem, buku-buku penting disita oleh
Belanda, dan dibakar habis; senasib dengan
kota-kota di belahan dunia lain yang
hancur oleh buku.
Sejarah itulah yang diabadikan dan tertulis di sebuah rumah Oei Ing Kiat,
yang kini menjadi kedai kopi.
Lalu bagi saya, gerobak Kang Karim muncul di
tengah ingatan itu; atas
hilangnya catatan Lasem, atas ketidakhadiran pemerintah Rembang memberi akses
pada dokumen penting Lasem. Tetapi
gerobak
Kang
Karim seolah memantik harapan. Seolah seperti ungkapan
Pramoedya Ananta Toer yang terpuaskan oleh perpustakaan kecil ayahnya, di dalam
buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels: “Cukup banyak peninggalan sejarah pada ruas jalan raya pos Rembang-Lasem. Keheranan tidak ada yang bercerita
tentangnya dan keheranan itu sedikit demi sedikit terpadamkan oleh bacaan yang
ada di perpustakaan ayahku.”
Dan Kang Karim bagi
saya berdiri sebagai perpustakaan itu. Melalui dirinya, saya membaca dua buku
tentang Lasem:
Kisah Perang Perjuangan Lasem dan
Menyibak Sejarah Kopi Lelet Khas Lasem anggitan Mohammad Al Mahdi. Memang
tidak sebagai pendongeng secara langsung, namun ia kembali membujuk seseorang
membaca Lasem kembali dengan menyediakan beberapa buku di gerobak baca yang ia
gagas.
Gerobak bukan upaya pertama
Karim. Sebelumnya, ia sempat menjemur beberapa buku di dinding warungnya, yang
mengingatkan saya akan ulah penerjemah Franz Kafka asal Boja, Sigit Susanto, saat
jemuran puisi di Guyub miliknya. Hanya saja berbeda nasib, milik Karim tak
diminati orang-orang, tak
ada yang datang membaca.
“Karena enggak ada yang minat, saya taruh di gerobak saja,” imbuhnya
Setelah itu Karim
bercerita lebih jauh, bagaimana ia tergerak dan membuat buku-buku tampak lebih
penting hari ini, di tengah bujuk rayu gawai dan gim yang menjangkiti anak-anak
Rembang, di
tengah-tengah tak banyak
lagi anak-anak yang
bertanya tentang hutan kebakaran, apalagi tentang tembok-tembok tinggi di Lasem yang
sering mereka lewati.
“Pengin bikin hobi baca pada anak desa. Apalagi anak desa sekarang sukanya
main gim. Jadi pengen memperkenalkan buku kembali. Kan, mereka generasi berikutnya,” katanya.
Namun ia
juga sadar, di tengah bujuk rayu gawai, jika hanya pepustakaan, tidak cukup untuk mengundang mereka
membaca. Karim paham betul, sederetan buku dan debu-debu yang melekat di setiap
rak, serta kebosanan di sana-sini adalah kata lain untuk perpustakaan, tempat
yang tak mungkin akan dijamah anak-anak. “Dulu pernah, kan, kalau waktu sekolah
ke perpustakaan itu monoton sekali, hanya ada buku yang berantakan, penjaga
perpus yang sendirian. Jadi
rasanya sepi banget.”
Melalui kesadaran itu
Karim membujuk dengan mengundang anak untuk bermain; merenggut kembali
ingatan mereka akan gelang karet, lompat tali, sampai pada ular tangga yang kian
terkikis dan
lenyap.
Atau menggunakan bujuk
rayu lain dengan cara menyelami bahasa yang jauh, hingga mengadakan sekolah darurat di tengah pandemi, ketika orang tua tak bisa
memenuhi tuntutan menteri
pendidikan yang dibesarkan dengan serba berkecukupan itu. “Saya
sengaja ambil momen itu biar anak-anak kerasan. Apalagi saat ini belajar mereka
keteteran. Enggak ada kuota internet, dan
beberapa orang tua mereka belum tentu bisa membantu belajar, belum lagi orang tua
mereka yang tidak bisa menggunakan ponsel pintar,” tuturnya.
Selain permainan, Karim punya akal-akalan lain dalam membujuk. Dalam
istilah Karim: dengan cara membujuk
para pimpinan geng bocah. Layaknya
para gangster di dalam film-film, menurutnya anak-anak
juga melakukan hal yang sama:
suka bergerombol; satu
anak dapat mempengarui anak lain. “Anak-anak itu kan ngegeng, mas. Saya pegang ketua
gengnya, ternyata berhasil
dan beres. Mereka
kemudian menarik teman-teman sepermainannya itu. Akhirnya, kan, jadi banyak. Sampai saat ini, di sini
kira-kira ada tiga geng, lah,” ucapnya
sambil tersenyum.
Perpustakaan yang Karim dirikan masih kecil
dan akan selalu kecil,
memang, hanya sebatas gerobak sederhana. Namun dengan kehadiran
anak-anak, tempat itu akan menjelma rimba, laut luas, pertarungan antara bajak
laut dan Negara,
atau menjadi semesta luas; tempat di mana para gangster
berkumpul,
berpetualang, dan terdampar di sebuah pulau bernama Warung Seblak Kang Karim, di sebalik tembok-tembok tua—sejarah
Lasem. []
![]() |
Pengrajin puisi, prosa, juga esai. Buku puisi debutnya: Sepotong Ikan Kerinduan Ibu (Pustaka Bacabukumu, 2020). Pengelola azizafifi.wordpress.com. |