
Louise Glück — Perihal Realisme
Bacaan paling awalku ialah mitologi Yunani. Sebagaimana doaku, tak ada
yang terhapus, melainkan macamnya bertambah. Pertama buku-buku Oz. Lalu biografi,
buku-buku how-to semasa kecilku.
Bagaimana kiat menjadi Madame Curie. Bagaimana kiat menjadi Lou Gehrig.
Bagaimana kiat menjadi Lady Jane Grey. Dan kemudian, berangsur-angsur, novel-prosa
dahsyat berbahasa Inggris. Dan seterusnya. Semua ini membikin semacam pembacaaan
berbeda dari pembacaan puisi; sedikit panggilan jiwa, banyak pelesir.
Apa yang kini mengejutkanku ialah bahwa karya-karya yang cukup berlainan
ini, Middlemarch dan The Magical Monarch of Mo, bagiku tampak
setara dalam ketidak-nyataannya.
Realisme pada dasarnya bersifat historis, terbatas pada suatu periode. Para
tokoh berpakaian dengan cara tertentu, mereka makan hal-hal tertentu,
masyarakat menyangkal mereka dengan cara tertentu; oleh karena itu yang nyata
(atau yang secara teoritis nyata) pada waktunya memperoleh apa yang selalu
dimiliki oleh yang fantastis, suatu suasana yang amat mustahil. Terdapat perbedaan
berikut: representasi yang kelewat fantastis, dalam imajinasi, yang belum
terjadi (memang betul bahkan ketika ia menempatkan dirinya di masa lalu yang
mitos, masa lalu di luar jangkauan sejarah yang tercatat). Fiksi realistis
secara kasar berhubungan dengan realitas yang familiar dan mutakhir pada
pembaca; keanehannya adalah keanehan atas keusangan atau ketakterpulihan.
Mengenai keusangan ini seseorang kadang kala bersyukur, kadang kala bersedih.
Meskipun para tokoh beserta hasrat dan dilemanya mirip dengan kita, dunia di
mana hasrat ini muncul: lenyap dan ganjil. Sejauh mana kita tak bisa menghuni
dunia itu, yang mulanya nyata menjadi amat seperti sengaja tidak nyata.
Hal fantastis hadir sebagai hipotesis dan mimpi: jika segalanya
berbeda maka barangkali memang demikian berbeda. Sebaliknya, yang mulanya dokumen
nyata tak bisa terulang; kita terpesona oleh catatan sejarah (yang tampaknya milik kita) dan oleh kemiripannya.
Bahwa momen maupun rangkaian yang direpresentasikan oleh realisme tak akan
pernah kembali menanam firasat akan akhir dalam karya. Bagaimana ini akan
berakhir? Akankah mereka mati? Akankah mereka jatuh cinta? Mekanisme
pembentukan ini memperkuat rasa perbedaan antara realisme dan kehidupan nyata.
Yang kurang penting daripada ketegasan plot adalah suasana yang diberikan oleh efek
kematian dan jatuh cinta. Kita membaca menantikan sebuah akhir, meramalkannya,
menebaknya, mencoba menyangkalnya. Dalam hal ini, memang realistis: sebuah akhir
berada di luar pengaruh atau kendali kita. Ketidakberdayaan yang penuh gairah
dan pesona dari pembaca menyerupai ketidakberdayaan yang gelisah dari umat manusia.
Begitu akhir itu sendiri tenggelam dalam waktu, dalam lintasannya yang tak
berubah, kita telah berpindah dari realisme ke filsafat.
Hal fantastis berakhir berbeda, sebab tak pernah dimulai, atau dimulai
hanya setelah kita menyetujui hipotesisnya. Ia berakhir untuk sementara waktu,
juga dengan kerja sama kita. Kemudian, boleh jadi, jika kita setuju, ia dimulai
lagi. Mungkin dengan sedikit perbaikan atau perubahan.
Bagi pembaca, perbedaan-perbedaan ini dikerdilkan oleh kemiripan yang amat
besar.
Bagaimana seorang anak memahami buku-buku? Sebagai ajakan untuk sejenak hidup
di dalam kepala. Sebagai hadiah furnitur atau hiasan-hiasan untuk kehidupan itu.
Kehidupan di dalam kepala menjadi—sepanjang durasi buku—lebih jelas, penuh oleh
beragam detail. Sedangkan puisi adalah caramu berpikir ketika kau tengah
membaca atau menjadi, pribadi atas diri cela yang memiliki batas. Namun itu persoalan
lain.
2004
Catatan: