
Harapan di Secawan Menstrual Cup
10 Maret 2021
Edit
Di
dunia yang sedang tak baik-baik saja, atau anggaplah, meski agak berlebihan, sedang
di ambang kehancuran (melihat lingkungan yang kian mengkhawatirkan), sedikit
membantu memperlambat kehancurannya merupakan sebuah keniscayaan. Kita
(perempuan) dapat turut serta dalam agenda itu. Mengurangi atau bahkan menolak pemakaian
pembalut sekali pakai ialah salah satu jalan yang dapat ditempuh.
Pembalut
atau segala sesuatu yang mengatasi keluarnya darah haid adalah ihwal yang tak terpisahkan
dari kehidupan perempuan. Pada mulanya barangkali pembalut yang dipergunakan
masih ramah lingkungan, tetapi kini, pembalut adalah satu dari sekian barang
yang cukup banyak menyumbang kerusakan lingkungan. Oleh sebab pembalut sekali
pakai yang banyak digunakan perempuan berbahan sulit terurai atau hancur. Pembalut
itu berbahan plastik perekat yang hanya bisa terurai setelah 200—800 tahun.
Memandang
hal itu, bayangkan seberapa banyak pembalut sekali pakai yang terpakai dalam
sehari hingga masa menopause tiba; ratusan atau ribuan? Kita bisa membayangkannya
dengan hitungan sederhana:
Dalam
sebulan atau sekali siklus menstruasi seorang perempuan memerlukan kira-kira 25
pembalut sekali pakai. Nantinya, siklus itu akan berulang sepanjang
tahun sampai pada usia menopause yang rata-rata dialami perempuan ketika
berumur 45—50 tahun. Jika 25 pembalut setiap bulan ditotal selama setahun saja,
jumlahnya telah mencapai angka 300; lalu berapa pembalut yang diperlukan dalam
rentang 30 tahun atau sejak menstruasi pertama sampai usia menopause?
Barangkali tumpukan sampah pembalut itu akan menyerupai bukit.
Itu
baru sampah pembalut saja, lalu bagaimana dengan sampah berbahan plastik lainnya?
Tentu menggelikan melihat bumi akan—dan itu mungkin saja terjadi—melahirkan pulau-pulau
baru: pulau sampah plastik.
Sebagai
pembuktian, mari
kita tilik produksi sampah plastik yang ada di Indonesia. Menurut data mutakhir
yang termuat di laman Okezone Techno, jumlah sampah di Indonesia pada tahun
2020 telah mencapai angka 7,6 juta ton. Sementara itu, dilansir dari ANTARA
News, produksi sampah plastik di Indonesia bertambah sebanyak 5,4 juta ton setiap
tahun. Dengan fakta itu, kiranya tak butuh waktu lama menunggu munculnya pulau
sampah plastik di Indonesia.
Soal
jumlah sampah belum seberapa; hal yang lebih mengerikan ialah zat berbahaya yang
dikandung sebagian
besar plastik yang kita gunakan. Plastik-plastik itu lambat laun akan terurai
menjadi mikroplastik yang sangat mungkin tanpa sengaja termakan makhluk hidup lain
hingga menimbulkan penyakit bahkan kematian.
Untuk
itulah andil perempuan dalam memperlambat laju penumpukan sampah plastik sangat
dibutuhkan; dalam hal ini mengurangi penggunaan pembalut sekali pakai memang perlu
dilakukan. Di antara banyak cara, salah satu yang dapat dilakukan yakni pemakaian
menstrual cup (cawan menstruasi).
Menstrual cup
adalah peranti berbentuk cawan yang berfungsi menampung darah haid. Cara pemakaiannya
cukup mudah, yakni hanya dengan memasukkan cawan menstrual cup ke dalam vagina. Setelah cawan penuh oleh darah haid,
kamu bisa melepasnya, lalu dibilas dengan air, dan kemudian dapat dikenakan kembali.
Dengan mengenakan alat itu kita bisa menghemat 3.000 pembalut sekali pakai, sebab
masa pakainya selama 10 tahun.
Belakangan
senang sekali mengetahui banyak teman perempuan saya mulai beralih ke menstrual cup dengan berbagai alasan:
simpel, hemat, ramah lingkungan, nyaman, dsb. (Bagaimana, apakah kamu juga
mulai tertarik beralih memakai menstrual
cup?)
Tindakan
itu barangkali tak seberapa dalam mengurangi sampah plastik yang kian
memprihatinkan; namun, sumbangan sederhana itu diharapkan mampu menjadi pemicu
produsen pembalut sekali pakai untuk mengendalikan produksi, atau paling tidak memikirkan
proses pemusnahan barang sekali pakai yang mereka produksi; bahkan barangkali
juga mencari alternatif bahan ramah lingkungan demi keberlangsungan bumi yang
lebih baik. []