
Kiat Sukses Khatam Buku dalam Sepekan
21 Maret 2021
Edit
Setiap
kali putus asa melihat—dan merasa tidak yakin mampu membaca semua—tumpukan buku
yang telanjur dimiliki, saya selalu menyangkalnya dengan keyakinan lain bahwa
saya doyan membaca. Yang demikian juga saya lakukan ketika menghadapi seperiuk
camilan; ialah bahwa saya doyan mencamil. Namun, tampaknya yang kedualah yang
paling dapat dipercaya.
Orang-orang
yang berani menyebut dirinya doyan membaca tentu memiliki riwayat panjang
bagaimana ia meraih keberanian itu. Tetapi saya memilih tidak berani. Saya
mengakui memiliki riwayat cekak, bahkan tak masak soal membaca.
Sebab
pada mulanya adalah Baihaqi, kawan saya, yang paling bertanggung jawab atas
ketidakberanian itu. Kawan-kawannya barangkali sependapat bahwa ia tampak tak seperti
seorang kutu buku (Ia hampir tak pernah memamerkan buku yang tengah ia baca). Namun,
pada suatu teduh siang ia sekonyong-konyong menjadi ceriwis ketika tengah
menceritakan kembali nyaris seluruh alur kisah Cantik itu Luka. Dan ia berhasil memukau kami dengan novel itu
sebagaimana MelquĂades (tokoh dalam novel Seratus
Tahun Kesunyian) memukau penduduk Macondo dengan magnet yang
menggelimpangkan perkakas mereka.
Kami
menjadi keranjingan novel debut Eka Kurniawan, dan celakanya saya tak mampu
mengakhiri keranjingan itu. Saya membaca novel-novel Eka Kurniawan dan Eka
Kurniawan membaca novel-novel lain. Kelak novel-novel yang Eka baca menjadi
novel-novel yang ingin saya baca. Orang-orang tahu betul Eka pada setiap buku
yang ia rampungkan kerap menulis semacam catatan pembacaan pada blog
pribadinya. Dan itulah sumber lain petaka keputusasaan di hadapan buku-buku
yang ingin dibaca.
Tetapi
kenapa pula saya menyematkan masalah pada buku-buku yang ingin dibaca tapi
nyatanya tak saya miliki? Ia tak boleh berjubel ke dalam masalah-masalah yang menyesaki
tempurung kepala saya. Kalaupun boleh, ia hanya mendapat tempat di lidah, dan
akan hilang bersama ludah yang saya lontarkan.
Masalah
utama saya adalah bagaimana bisa membaca buku yang saya punya. Buku-buku cetak
kian berjubel di rak serupa gerumbul bulir padi, tetapi hasrat untuk membacanya
seperti tanaman padi yang kian terisi. Ditambah lagi koleksi buku elektronik
yang berjejal di laptop. Jumlah bukunya seribu satu lebih.
Saya
selalu berandai-andai sanggup membaca sehari satu buku—dan itu mustahil. Merasa
keberatan, tantangan itu saya kurangi satu tingkat menjadi membaca satu buku
sepekan. Tampaknya kini sedikit lebih baik. Saya menjadi cukup rajin memperbarui
daftar buku-buku yang berhasil saya baca di akun Goodreads.
Hal
itu mengingatkan pada hari-hari di mana saya mampu mengkhatamkan Don Quixote (maupun The Brothers Karamazov), novel nyaris seribu halaman, dalam sepekan.
Itu masa-masa ajaib ketika waktu luang dapat diisi dengan membaca buku sekali (sekira
10—20 halaman) setiap dua jam (satu jam membaca, satu jam istirahat). Jika
suatu kali terantuk penat, aturan baca buku itu bisa diubah menjadi lima kali
sehari atau tiga kali sehari atau sekali sehari, terserah anda.
Namun,
cara itu hanya berhasil pada kedua novel tersebut. Percobaan ketiga dilakukan
pada Kura-Kura Berjanggut, dan
berakhir membaca novel itu seperti kura-kura yang hanya mampu bergerak secepat-cepatnya
4 mil per jam (karena ini urusan membaca, anda bisa mengganti kata mil dengan
halaman). Dan keesokan hari saya menjumpai kura-kura itu kembali mendekam di
rak buku.
Kekalahan
itu tak boleh menjadi sebab berakhirnya tantangan satu buku sepekan. Pilihan
bacaan kini jatuh kepada Tahilalat, sejilid
buku puisi. Buku itu tipis saja, sekitar sepersepuluh tebal novel-novel gemuk tadi;
hanya memuat 55 puisi, yang berarti dapat dikhatamkan dalam sepekan jika
membaca sekitar delapan puisi setiap hari.
Saya
membaca puisi-puisi itu setiap malam sebelum tidur, menggantikan kebiasaan
membaca cerita-cerita Kisah Seribu Satu
Malam—yang terakhir, anda tahu, sebetulnya terkena masalah yang sama dengan
si kura-kura. Satu puisi berlalu. Dua puisi berlalu. Empat puisi. Saya mandek
dan dihadapkan dengan perenungan; bukan pada maksud filosofis puisi itu,
melainkan kenyataan bahwa saya tak semahir kawan-kawan saya dalam membaca,
menulis, dan membicarakan puisi. Dan itu terjadi nyaris setiap malam. Sekarang
anda tentu tahu nasib buku puisi itu.
Tetapi
tenang, seperti yang anda tahu, saya punya banyak buku yang belum terbaca. Kini
saya mengambil novel Piknik dari rak.
Saya memilihnya sebab saya pikir judul itu mencerminkan kisah di dalamnya.
Namun, ia tak seriang judulnya, hingga ketika membaca sekian halaman pertama
saya mampu mencapnya sebagai bukan novel (yang dapat dibaca) sekali-duduk,
melainkan novel sekali-duduk-sudah-itu-mengantuk. Dan begitulah.
Jadi,
bagaimana bisa membaca semua buku, atau satu buku saja dalam sepekan? Tampaknya
tak ada solusi untuk masalah itu. Lihatlah, orang-orang di sekitar anda seumur
hidup tidak membaca buku pun tidak jadi masalah. Tak sedikit dari mereka
membuktikan hal itu. Mereka tetap hidup seperti kucing: gemar makan dan tidur,
kadang-kadang menggeram ketika terusik, dan tidak membaca buku.
Sekarang
kalau perlu dan memang perlu anda bisa menuntut atas ketiadaan kiat yang
tercantum pada judul dan waktu yang berlalu sia-sia ketika membaca tulisan ini,
tetapi itu barangkali membuat anda tampak tak banyak belajar dari kekeliruan
orang lain. Dengan begitu tulisan ini boleh dijuduli ulang: Kiat Sukses Setidaknya Membaca Buku Meski
Tidak Khatam dalam Sepekan. Tentu saja, sebab tantangan membaca buku dalam
sepekan bukan berasal dari orang lain, melainkan diri sendiri. Anda bisa
menentukan tantangan anda sendiri, atau memilih menjadi seperti kucing.
Terserah anda. []