Ada
foto besar yang sudah pudar, seorang perempuan dengan make up Catwoman
dan ikal-ikal berbentuk tong yang ditumpuk di bagian atas kepalanya. Kemudian
ada satu kepala manekin yang memakai seonggok wig pirang serta diapit oleh
sepasang vas bunga yang tak serasi dengan bunga mawar plastik warna merah di
tepi jendela bagian dalam.
Itu
adalah penggambaran Deborah Rodriguez kala melihat bagian depan salon
kecantikan di Kabul, Afghanistan. Tulisan ini ada dalam novelnya, Kabul Beauty School, yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh penerbit
Bentang.
Deborah
Rodriguez merupakan seorang penata rambut dari Amerika yang menjadi sukarelawan
pasca pengusiran Taliban di Afghanistan pada tahun 2003. Ia kemudian
menceritakan pengalamannya di sana ke dalam sebuah novel. Tokoh aku dalam novel
adalah Deborah sendiri,
yang hanya menggantinya
dengan nama Debbie Rodriguez—yang biasa dipanggil dengan Debbie.
Sebagai
seorang penata rambut, Debbie tertarik untuk mengunjungi salon kecantikan di
Kabul ketika menjadi sukarelawan. Dan penggambaran di atas itu adalah saat pertama
kali ia berkunjung ke salon kecantikan milik orang Afganistan.
Dari
yang dilihatnya itu, Debbie merasa ragu. Apakah itu benar-benar salon
kecantikan. “Kelihatannya gelap,”
katanya kepada Roshanna, salah satu perempuan Afganistan yang menjadi teman baik
Debbie. “Mungkin tak buka.”
Yang
dijawab oleh Roshanna dengan enteng,
“Segala sesuatu di Kabul ini gelap, Debbie. Para perempuan itu hanya
menghidupkan generatornya kalau memang sangat terpaksa.” Para perempuan yang
dimaksud Roshanna tentu saja adalah pegawai salon kecantikan.
Sesuai
yang ditulis oleh Deborah Rodriguez, keadaan di Kabul kala itu masih sungguh
memprihatinkan. Sisa-sisa peperangan masih banyak ditemui. Gedung yang sebagian
runtuh sebab terkena bom, bolong-bolong di tembok akibat peluru masih terlihat
jelas, dan bahkan ranjau-ranjau masih berada di halaman-halaman.
Beruntung,
Debbie masih bisa menemukan satu-satunya salon kecantikan di Kabul yang masih
buka. Selain karena keahlian yang dimilikinya, ia merasa perlu berkunjung sebab
menurutnya salon kecantikan adalah tempat di mana para laki-laki tak pernah
melihat uang berpindah tangan. Mereka juga tak akan bisa mengatur-atur
bagaimana perempuan harus menjalankan berbagai hal di situ. “Salon merupakan
sebuah usaha yang bagus bagi seorang perempuan—terutama kalau dia mempunyai suami
yang buruk,” tulisnya.
Setelah
melihat salon kecantikan itu, Debbie menduga, bukan klaim sebagai perempuan
seperti pelacur atau kedok bagi rumah pelacuran yang menyebabkan Taliban memasukkan
salon kecantikan ke dalam sesuatu yang dilarang seperti musik, tari-tarian,
gambar orang dan makhluk hidup lain, sepatu putih, menerbangkan layang-layang,
serta menanam anggur. Melainkan karena kebebasan yang didapatkan perempuan
ketika berada di sana. “Karena salon memberi kaum perempuan ruangnya sendiri,
tempat mereka bebas dari kontrol laki-laki.”
Dari
sinilah, Debbie lantas menggagas sekolah kecantikan; yang
selain karena salon kecantikan adalah tempat perempuan Afgan menemukan
kebebasan. Juga bisa menjadi tempat mereka meningkatkan pendapatan. Guna menjalani
hidup yang lebih baik pasca perang yang membuat perempuan-perempuan trauma.
Bertahun
kemudian dan beribu kilometer dari Kabul, di Jepara, kota kelahiran Kartini—salah
satu tokoh pahlawan perempuan Indonesia—salon kecantikan kian menjadi kebutuhan
primer perempuan di sana. Untuk membuktikan klaim ini, saya punya teman,
namanya Benu. Ia punya ibu yang memiliki salon kecantikan. Sekali waktu ketika
saya menginap di rumahnya, ia banyak bercerita tentang salon kecantikan milik
ibunya.
Letak
salon milik ibunya berada di depan rumah. Di sebuah desa yang sangat jauh
dengan pusat kota. Perlu waktu lima belas menit perjalanan dari alun-alun
Jepara. Dan saya—karena baru mengunjungi rumahnya beberapa kali—perlu melihat bolak-balik
aplikasi Maps
untuk menuju ke sana.
Selain
jauh dari pusat kota, rumahnya pun bukan berada di pinggir jalan Kabupaten atau
pun provinsi. Melainkan berada di jalan kampung yang ujungnya menuju ke laut
Jepara—hanya perlu jalan kaki sebentar sudah sampai dan tidak melelahkan sama
sekali.
Meski
di daerah pelosok, menurut pengakuan Benu, salon tetap ramai pengunjung. Selain
pelanggan salon yang sudah bertahun-tahun memakai jasa ibunya, saat ini kebanyakan
pelanggannya adalah para pekerja pabrik. “Pabrik di Jepara makin banyak. Dan
kebanyakan pekerjanya adalah perempuan. Masih muda-muda,” katanya lantas
menambahkan sifat. “Ayu-ayu.”
Menurut
Benu, mereka perlu ke salon bukan hanya untuk kecantikan, melainkan semacam
kebutuhan untuk menghibur diri. Atau barangkali seperti salon kecantikan di
Kabul, agar mereka menemukan kebebasan di salon kecantikan. Setelah sebelumnya selalu
dikejar-kejar oleh pekerjaan. Bagi saya ini termasuk ciri khas masyarakat
industri yang memerlukan hiburan ketika liburan.
Ini
tentu saja mendatangkan keuntungan bagi salon kecantikan ibunya. Namun, ia
mengaku miris dengan situasi ini. Karena efeknya tidak hanya kebutuhan terhadap
salon kecantikan yang meningkat, tetapi gaya hidup yang mulai tinggi di Jepara.
Lepas
dari itu, salon kecantikan mungkin hanya bisa dinikmati oleh perempuan kalangan
atas. Mungkin kita jangan melihat dari sisi itu. Tapi dari sisi bagaimana salon
kecantikan mampu menjadi tempat perempuan menemukan dirinya sendiri.
Barangkali, revolusi perempuan—bermula dari perempuan menjadi diri sendiri—itu
bisa bermula dari salon ke salon, seperti yang terjadi dalam cerita Deborah. Ini
bisa menjadi pengharapan yang baik bagi perempuan.
Sekali
waktu saya pernah membaca kata-kata Soe Hok Gie. Kalau tidak salah begini
kata-katanya: “Perempuan akan selalu berada di bawah laki-laki jika yang
dipedulikan hanya soal gincu belaka.”
Kali ini saya tidak sepakat dengan Gie. Bagi saya perihal kecantikan atau apa pun tentang merawat
diri adalah sesuatu yang lumrah bagi perempuan atau pun laki-laki. Jadi sangat
tidak masalah jika perempuan memedulikan itu. Yang jadi masalah adalah ketika
kecantikan dikontruksi oleh perusahaan atau kapital-kapital, laki-laki, agama,
budaya, ideologi,
atau pun ekonomi. Bukan oleh diri perempuan sendiri. Ini
menunjukkan bahwa perempuan didefinisikan oleh orang lain, bukan
oleh dirinya sendiri. Dan pertanyaan feminis Gayatri Chakravorty Spivak mungkin punya daya gugat ini, “Can the subaltern
speak?”
Sesuatu
yang juga dirisaukan oleh Kartini beribu tahun yang lalu dalam surat-suratnya
yang kemudian dikumpulkan menjadi Door Duisternis tot Licht. Di salah
satu bagian, ia berujar begini: “Kami telah
menyaksikan berbagai kejadian yang menyedihkan dalam adat perkawinan Jawa. Hal ini menurut
saya berhubung erat dengan hak laki-laki yang begitu tinggi dalam hukum agama Islam.
Penderitaan perempuan dan sejumlah anak yang lahir dari pernikahan telah
membakar dan mencambuk jiwa kami untuk berontak melawan keadaan ini.
Satu-satunya jalan keluar bagi perempuan menghindari kehidupan yang demikian
adalah merebut kebebasan bagi dirirnya,” tulis Kartini yang saya bayangkan menggebu-gebu
sewaktu menulis bagian ini.
Sudah
semestinya di abad 20 ini perempuan tidak lagi didikte oleh budaya, ideologi, ekonomi,
agama, bahkan oleh laki-laki. Ia harus merebut kebebasan bagi dirinya sendiri.
Dan ia harus mulai mendefinisikan
dirinya sendiri.
Meski
menurut Katrin Marcal, setengah abad sejak the feminism mystique-nya
Betty Friedan masih banyak dijumpai masalah baru yang sama-sama tidak punya
nama. Feminis Naomi Wolf menulis bahwa kita gagal memberikan ke anak perempuan
definisi sukses yang membiarkan mereka menjadi diri sendiri.
“Anda
tidak perlu punya titit paling besar di gedung ini. Tidak punya titit sama
sekali pun tidak apa-apa—bahkan jika anda seorang perempuan,” tulis Katrin
Marcal dalam bukunya Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith?—terjemahan Marjin Kiri. Dalam
bukunya itu, Katrin Marcal menggugat sistem ekonomi kapitalisme, yang membuat laki-laki
mendominasi. Sementara perempuan dinomorsekiankan. Bahkan ibu rumah tangga
dianggap tidak masuk dalam hitungan bekerja. Sebab tidak ada dalam sirkulasi
kapitalisme. Seperti perempuan-perempuan Afganistan yang terkekang tidak boleh
bekerja ke luar. Jadi harus di rumah saja—yang sudah sedikit digambarkan dalam
novel Deborah Rodriguez.
Oleh
karena itu, pandangan ini perlu diubah;
karena perempuan juga
termasuk makhluk ekonomi. Dan ia juga adalah manusia yang berhak menentukan
dirinya sendiri tanpa didikte oleh apa dan siapa pun. Barangkali sekolah dan
salon kecantikan Debbie di Kabul itu bisa jadi contoh bagus. []
 |
Membaca dengan riang. Menulis dengan gembira. |