
Ghassan Kanafani — Kebun Jeruk Masygul
12 Mei 2021
Edit
Langit sedikit berawan, dan suatu rasa dingin menyerbu tubuhku. Riyad tengah duduk cukup tenang, dengan kaki menjuntai di tepi rak, menyandarkan punggungnya pada barang-barang, sambil ia memandangi langit. Aku duduk dengan tenang, dengan dagu di antara kedua lutut dan tanganku melingkarinya. Gerumbul pohon jeruk berjajar beriringan di sepanjang jalan. Kami digerogoti rasa takut. Lori terengah-engah di tengah tanah basah, dan desing tembakan di kejauhan melesap.
Saat Ras Naqoura mulai tampak di kejauhan, samar di ufuk biru, lori berhenti.
Para wanita merangkak menuruni barang dan menghampiri seorang petani yang duduk
bersilang kaki dengan sekeranjang penuh jeruk di hadapannya. Mereka meraih
jeruk, dan suara isak menjamah telinga-telinga kami. Pikirku jeruk-jeruk itu elok
dan bebuahan bersih besar ini memanjakan mata kami. Ketika para wanita membeli
sejumlah jeruk, mereka membawanya ke dalam lori dan ayahmu turun dari sisi
kemudi dan mengulurkan tangan meraih sebuah. Ia terdiam memandanginya, dan
kemudian menangis seperti bocah putus asa.
Di
Ras Naqoura lori kami berhenti dekat lori-lori lain. Orang-orang mulai
menyerahkan persenjataan mereka kepada polisi yang sengaja berjaga di sana, dan
ketika giliran kami tiba dan kulihat pelbagai bedil dan senapan mesin di atas
meja dan memandangi deretan panjang lori memasuki Lebanon, memenuhi kelokan-kelokan
di sepanjang jalan dan makin memperpanjang jarak antara mereka dan perkebunan jeruk,
aku kena terjang badai isak pula. Ibumu masih memandangi jeruk itu dengan masygul.
Dan seluruh pepohonan jeruk yang ditinggalkan ayahmu kepada para Yahudi terpancar
di kedua matanya, seluruh pohon-pohon jeruk elok yang ia beli satu per satu
terpacak di wajahnya dan tercermin di air mata yang tak mampu ia kuasai di hadapan
opsir di pos polisi.
Pada
tengah hari, ketika kami mencapai Sidon, jadilah kami pengungsi.
Kami
di antara mereka yang dayanya ditelan jalanan. Ayahmu tampak seperti telah lama
sekali tidak tidur. Ia berdiri di jalan di hadapan onggokan barang-barang di atas
tanah, dan aku sejenak membayangkan bila aku mendekat dan berkata sesuatu
padanya amarahnya akan meletus di mukaku: “Bajingan ayahmu! Bajingan...!” Kedua
kutuk itu tergores jelas di wajahnya. Aku sendiri, seorang bocah yang terdidik
di sekolah agama ketat, pada waktu itu ragu apakah ini Tuhan betul-betul ingin
membuat seseorang bahagia. Aku juga ragu apakah Tuhan mampu mendengar dan
melihat segalanya. Gambar-gambar berwarna yang diberikan kepada kami di kapel
sekolah memperlihatkan sang Tuhan mencurahkan kasih sayang kepada anak-anak dan
senyum di wajah mereka tampak serupa dusta lain yang diciptakan orang-orang
yang menggelar sekolah-sekolah ketat demi memperoleh bayaran tinggi. Aku yakin
Tuhan yang kita tahu di Palestina juga meninggalkannya, dan menjadi pengungsi
di suatu tempat yang tak kuketahui, tak mampu mencari solusi atas
permasalahannya sendiri. Dan kami, manusia-manusia pengungsi, duduk di jalanan
aspal menunggu suatu nasib baru yang membawa sejumlah solusi, yang bertanggung
jawab menyediakan atap tempat bernaung untuk menghabiskan malam. Rasa sakit
mulai mengacaukan pikiran sederhana si bocah.
Malam
adalah hal yang menakutkan. Kegelapan yang perlahan turun meneror perasaanku.
Pikiranku sepintas lalu untuk menghabiskan malam di jalanan aspal membangkitkan
segala macam ketakutan dalam diriku. Mereka kejam dan keji. Tak satu pun berniat
mengasihiku. Aku tak bisa menemukan seseorang yang dapat melipurku. Kesenyapan
ayahmu memancarkan teror pada dadaku. Semua orang terdiam, memandangi jalanan
legam, mengharap nasib muncul di setiap sudut dan mengangsurkan solusi atas
kesulitan kami, sehingga kami dapat mengikutinya ke sejumlah pengungsian. Tetiba
nasib betul-betul tiba; pamanmu telah mencapai kota mendahului kami, dan dialah
nasib kami.
Pamanmu
tak pernah punya keyakinan teguh atas tata susila, dan ketika ia mendapati
dirinya di jalanan seperti kami, ia kehilangan keyakinan itu sepenuhnya. Ia
menghampiri sebuah rumah keluarga Yahudi, membuka pintunya, melempar barang-barangnya
ke dalam dan menyentakkan wajah bulatnya pada mereka, berkata jelas sekali, “Sana
pergi ke Palestina!” Tentu saja mereka tak pergi, tetapi mereka ketakutan oleh kenekatannya,
dan mereka pindah ke ruangan sebelah, meninggalkan ia menikmati atap dan lantai
berubin.
Pamanmu
menuntun kami ke tempatnya bernaung dan mengempaskan barang-barang dan
keluarganya. Ketika malam kami tidur di lantai, dan ia benar-benar muat oleh
tubuh kecil kami. Kami pergunakan mantel para pria sebagai selimut, dan saat
kami bangun di pagi hari kami mendapati para pria melalui malam sambil duduk.
Tragedi mulai menggerogoti jiwa terdalam kami.
Kami
tak menetap lama di Sidon. Ruangan pamanmu tak begitu luas untuk sebagian dari kami,
tetapi ia menampung kami untuk tiga malam. Kemudian ibumu meminta ayahmu untuk
mencari pekerjaan, atau membiarkan kami kembali pada pohon-pohon jeruk. Ayahmu
membentak di muka ibumu, rasa benci bergetar di suaranya, dan ibumu terdiam. Masalah
keluarga kami telah dimulai. Keluarga rukun bahagia kami tertinggal, bersama tanah,
rumah, dan para martir meninggal mempertahankannya.
Aku
tak tahu dari mana ayahmu memperoleh uang. Yang kutahu ia menjual emas yang ia
beli untuk ibumu ketika ia ingin membahagiakannya dan bangga menjadikannya
istrinya. Namun, emas itu tak menghasilkan cukup banyak untuk menyelesaikan
permasalahan kami. Mestinya ada sumber lain. Apakah ia meminjam seluruhnya?
Apakah ia menjual sesuatu yang lain yang ia bawa tanpa sepengetahuan kami? Aku tak
tahu. Tapi aku ingat saat kami pindah ke suatu desa di pinggiran Sidon, dan di
sana ayahmu duduk di langkan batu tinggi, tersenyum untuk pertama kali dan menunggu
15 Mei untuk kembali bangkit pada kemenangan bala tentara.
15
Mei tiba, setelah masa sengit penantian. Tepat pada tengah malam ayahmu menjawilku
dengan kakinya saat aku tertidur dan berkata dengan suara bergetar oleh
harapan: “Bangun dan berjagalah ketika bala tentara Arab memasuki Palestina.”
Aku seketika terbangun, dan kami bertelanjang kaki merangkak menuruni bukit
menuju jalan utama, yang terbentang sepanjang kilometer dari desa. Kami semua, tua
dan muda, terengah-engah seolah kami berlari kesetanan. Lampu-lampu lori
menaiki Ras Naqoura bersinar di kejauhan. Ketika kami mencapai jalan kami
merasa kedinginan, tetapi teriakan ayahmu melibas segalanya di pikiran kami. Ia
bergegas mengejar lori-lori laiknya seorang anak kecil. Ia meneriaki mereka. Ia
berteriak parau dan kehabisan napas, tetapi ia tetap mengejar barisan lori
seperti bocah kecil. Kami berlari membersamainya, meneriaki bersama dengannya. Prajurit-prajurit
ramah memandang kami dari balik lindungan helmnya, tenang dan tak bergeming. Kami
kehabisan napas. Sementara ayahmu, terus berlari kendati usianya tak lagi muda:
lima puluh tahun, melolos rokok dari sakunya untuk dilemparkan ke para prajurit
dan terus berteriak kepadanya. Kami terus berlari membersamainya, seperti sekawanan
kecil kambing.
Tiba-tiba
lori-lori telah sampai ujung. Kami kepayahan kembali ke rumah, napas kami mengeluarkan
lenguhan seraya kami megap-megap. Ayahmu sepenuhnya tenang, dan kami tak mampu
berbicara. Ketika lampu-lampu mobil yang melaju menerpa wajah ayahmu, pipinya
basah oleh air mata.
Hal-hal
berlalu amat lambat setelah itu. Komunike memperdaya kami, dan kemudian kebenaran
dengan seluruh kegetirannya menipu kami. Keputusasaan menemukan jalannya
kembali ke wajah orang-orang. Ayahmu mulai menemukan kesulitan menyebut-nyebut
Palestina dan membicarakan masa lalu bahagia yang dihabiskan di perkebunan dan tempat
tinggalnya. Dan kami salah satu yang membentuk tembok-tembok kukuh atas tragedi
yang mengungkung kehidupan barunya, seperti halnya orang malang yang mendapati,
tanpa kesulitan apa pun, bahwa ide di balik mendaki bukit di pagi buta, sebagaimana
perintah ayahmu, ialah untuk mengalihkan hasrat kami untuk meminta sarapan.
Kesulitan
menjadi-jadi. Dalam sekian cara luar biasa, hal paling sederhana cukup untuk menggugah
ayahmu. Aku ingat sekali sewaktu seseorang meminta sesuatu padanya—Aku tak tahu
juga tak ingat apa itu. Ia bergidik, dan kemudian mulai gemetaran seperti ia tersengat
listrik. Kedua matanya berkaca-kaca ketika mengarungi wajah-wajah kami. Sebuah
pikiran jahat menanamkan diri di otaknya, dan ia meloncat seperti orang yang
menemukan kesimpulan memuaskan. Hanyut oleh kesadarannya bahwa ia mampu mengakhiri
kesulitannya, dan oleh rasa ngeri seseorang yang hendak melakukan suatu aksi,
ia mulai bergumam sembari berputar-putar, mencari sesuatu yang tak kami tahu. Kemudian
ia memukuli sebuah peti yang telah membersamai kami dari Acre dan mulai menghamburkan
isinya dengan gerakan gugup yang kacau. Ibumu sekejap mengerti segalanya dan, berada
pada pergolakan yang dirasakan para ibu ketika anaknya dalam bahaya, ia
mendorong kami keluar ruangan dan menyuruh kami untuk kabur ke gunung. Namun,
kami tetap tinggal di dekat jendela. Kami mengatupkan daun telinga-telinga
kecil kami, dan mendengar suara ayahmu: “Aku ingin membunuh mereka. Aku ingin membunuh
diriku. Aku ingin menyudahi ... Aku ingin ...”
Ayahmu
terdiam. Ketika kami melihat seisi ruangan kembali, lewat celah-celah pintu,
kami melihatnya tergeletak di lantai, megap-megap dan menggemeletukkan giginya
sembari menangis, sementara ibumu duduk di satu sisi memandangnya dengan gelisah.
Kami
tidak tahu. Namun, aku ingat ketika aku melihat revolver hitam tergeletak di
lantai di sampingnya, aku tahu semuanya. Didorong oleh kengerian seorang bocah
yang tiba-tiba melihat raksasa, aku berlari ke gunung, kabur dari rumah.
Seraya
kutinggalkan rumah itu, kutinggalkan
pula masa kecilku. Aku tersadar kehidupan kami tak lagi ramah, dan tak lagi
mudah bagi kami untuk hidup dalam kedamaian. Segalanya sampai pada titik di
mana satu-satunya solusi ialah pelor yang bersarang di setiap kepala kami. Jadi
kami mesti hati-hati untuk berbuat dengan pantas atas segala yang kami perbuat,
tidak meminta sesuatu untuk dimakan ketika kami lapar, tetap tenang ketika
ayahmu membicarakan kesulitannya dan mengangguk juga tersenyum ketika ia
berkata kepada kami: “Pergi dan daki gunung itu, dan jangan kembali sampai
tengah hari.”
Aku
kembali ke rumah saat petang, ketika senja turun. Ayahmu masih kesakitan dan
ibumu duduk di sampingnya. Kedua matamu berkaca-kaca layaknya mata kucing dan
bibirmu terkunci seolah-olah tak pernah terbuka, seolah-olah terdapat luka yang
ditorehkan luka lama yang tak tersembuhkan dengan sempurna.
Kau
berjubel di sana, sebagaimana masa kecilmu di tanah perkebunan jeruk—jeruk-jeruk
yang, menurut seorang petani yang mengolahnya, saat ia tinggalkan, akan mengerut
ketika ada yang berbeda dan mereka disirami oleh tangan asing.
Ayahmu
masih kesakitan di ranjang. Ibumu terisak oleh tangis tragedi yang tak pernah meninggalkan
matanya hingga kini. Aku menyelinap ke kamar seperti paria. Ketika pandanganku sampai
pada wajah ayahmu, yang diliputi amarah tak berdaya, pada saat bersamaan kulihat
revolver hitam tergeletak di meja rendah, dan di sampingya sebutir jeruk.
Jeruk
itu telah mengering dan mengerut. []
*)
Cerpen ini dialihbahasakan oleh Umar Qadafi dari judul “The Land of Sad Oranges”,
dari buku Men in the Sun and Other
Palestinian Stories, terbitan Lynne Rienner, 1999; terjemahan bahasa
Inggris dari bahasa Arab oleh Hilary Kilpatrick.